Sabtu, 14 Mei 2016

Escape to Air Terjun Dlundung dan Candi Jawi


Tau sendiri kan, kalau minggu lalu (5-6-7-8 Mei 2016) ada libur yang cukup panjang? Awalnya, liburan itu kurencanakan untuk naik gunung. Namun, karena suatu hal, aku tak jadi melakukan pendakian. Alih-alih bersedih, aku mengadakan perjalanan sendiri bersama sobatku dari SMP, Tita. 

Aku merencanakan perjalanan itu dengan mendadak, pada hari Jum’at, 6 Mei 2016. Mulanya, aku mengajak Tita untuk jalan-jalan keliling Trawas, Mojokerto. Bukan tanpa alasan aku ingin kesana. Mojokerto dan sekitarnya adalah surga tersembunyi, dengan jarak yang cukup dekat dari Surabaya. Tita mulanya bertanya sana-sini, aku berusaha meyakinkannya, dan tak butuh waktu lama, ia menyetujui tawaranku. Ahay!

Kami merencanakan berangkat pada hari Minggu shubuh (8/5). Berangkat jam segitu sangat menyenangkan. Udara masih bersih, sejuk dan jalanan masih sepi. Bisa berkendara lebih cepat ketimbang berangkat diatas jam 7 pagi. Kami juga merencanakan membawa sepeda motor sendiri-sendiri. Bukan tanpa alasan, selain kami sama-sama sudah mahir membawa motor, juga karena satu alasan krusial: jalanan Trawas dan sekitarnya penuh dengan tanjakan! Dan, membawa dua orang dengan satu motor, menaiki tanjakan itu, akan berakhir buruk pada motor kita, bisa saja ban jadi kempes/bocor, bisa aja turun mesin, kasihan pula mesin motor yang meraung-raung. Belum lagi, bila ternyata motor itu tak kuat nanjak, dan malah berjalan mundur. Apa gak serem? :’)
Namun, pada Sabtu malam (7/5), sekitar jam 22:44, Tita mengabarkan berita seram: ia tak diizinkan pergi oleh ibunya. DHUARRR. Dengan segala cara, aku meyakinkannya untuk tetap berangkat, seperti: 1) “Berangkat agak siang gpp, asal tetep berangkat” 2) “Tempatnya deket kok, cuma 2 jam perjalanan dari Surabaya” 3) “Lokasinya rame, gak sepi kok” 4) “Pulangnya cepet deh, biar ortumu gak khawatir” dan sejenisnya, hehe.
Dengan berbagai cara, Tita berakhir dengan keberhasilan merayu orang tuanya, hehe. Tapi, rencana awal kami berangkat jam 4 pagi, mundur ke jam 6 pagi. Tak apalah, asal berangkat!

MINGGU, 8 Mei 2016
            Aku sudah bangun dari jam 3:30 pagi. Segera mandi, bersiap-siap, packing, bikin bekal, cek barang ini-itu, lalu santai-santai sejenak sembari menunggu jam 6 datang.
            Sesampainya di rumah Tita, aku bertemu kedua orang tuanya, mereka sedikit-sedikit menginterogasi soal perjalanan kami. Aku bilang, tempatnya di Trawas, 2 jam perjalanan dari sini, dan disana aman, gak sepi kok. Aku juga berulangkali dipesani agar berhati-hati. Dan tak lama, kami berangkat! Isi bensin dulu di Pom Bensin Krampung, sejumlah 20.000 (3 Liter Premium) dan Tita mengisi motornya dengan Petralite.
            Kami langsung berangkat lewat Ngagel, terus tembus ke Wonokromo. Kami tak jadi lewat Krian karena aku lupa jalannya (padahal pemandangan lewat sana lebih bagus). Alih-alih, kami lewat Jalan Raya Surabaya-Malang, jalanan besar yang menghubungkan Surabaya-Sidoarjo-Pasuruan-Malang.
            Rencananya, kami akan lewat jalur ini: Surabaya-Waru-Candi-Porong-Gempol, lalu kami akan belok ke kanan jalan, ke arah jalanan ke Kecamatan Prigen dan Pandaan, Pasuruan. Patokanku adalah Masjid Cheng Ho, Pasuruan, disekitarnya kan ada belokan menuju Mojokerto.    Dan, menurut Google Maps, jalanan ke Trawas via Pandaan, Pasuruan, itu jauh lebih gampang dibanding harus muter-muter Waru-Taman-Krian-Mojosari-Trawas.
Hai, kami sudah di Gempol, Pasuruan nih!
            Kami berangkat jam 06:15 pagi, dan berhenti di jalanan daerah Gempol buat ganti oli motorku, sekitar jam 07:25. Termasuk cepet gak sih? Dari Krampung, Surabaya ke Gempol, Pasuruan, dengan waktu 1 jam 10 menit?  Hehe. Disini, kami duduk-duduk sebentar sembari menunggu oli diganti. Tak lebih dari 20 menit, sudah selesai, dan aku sekalian tanya sama Bapak pemilik Bengkel soal arah jalan.
            “Pak, kalau mau ke Trawas kan lewat jalanan sebelah Masjid Cheng Ho, ya?” kataku.
            “Oh iya nak, nanti lewat puter balikan di Masjid Cheng Ho, trus belok kiri. Habis itu lurus terus, setelah Polsek Prigen, belok kanan.”
            “Kalo ke Air Terjun Dlundung, pak?”
            “Oh iya, rutenya sama. Ikuti jalannya aja. Tapi ati-ati, banyak tanjakan. Pakai gigi satu aja, kalo kamu telat ganti gigi, atau pake gigi 2 sekalipun, bisa-bisa motormu kebalik.” kata bapaknya.
            “Wih, serem ya pak.”
            “Iya, makanya pakai gigi satu aja, aman.”
            “Yaudah pak, makasih.”
            Kami langsung cabut dan aku berkata ke Tita, “Inget, gigi satu ya. Wes gpp pelan-pelan aja ntar.”
            Kami langsung tancap gas, belok kanan setelah Masjid Cheng Ho, lalu belok kiri. Sebelum menghadapi jalanan lurus yang panjang, aku menepi, “Sek, sek, buka Google Maps dulu.”
            Dari sini, lurus terus, nanti ada belokan ke kanan setelah Polsek Prigen (sesuai anjuran Bapaknya). Lalu, belok ke kanan lagi dan ikuti jalan. Jalan yang benar menuju ke Air Terjun Dlundung adalah jalanan yang lebar, ramai, dan ada papan penandanya. Okelah.
            Saat tengah berjalan di jalanan lurus itu, aku cukup terkejut. Di kanan jalan ada Candi euy! Candinya cukup besar dan sangat mencolok, dan setelah dari air terjun nanti, aku bakal merencanakan kemari, pikirku dalam hati. Oh ya, di jalanan lurus tadi, ada beberapa tanjakan yang cukup membuat mesin meraung-raung, padahal orang-orang lokal mengendarai motornya dengan biasa saja. Mesinku berisik, mereka tidak. Mereka berkendara dengan santai tapi mantap, tak mengeluarkan suara seperti mesin motorku. Hm, sebegitu mencoloknya kah cara berkendaraku? Wkwk, keliatan banget kalau turis, bukan penduduk lokal.
            Dari Masjid Cheng Ho (jam 08:00) ke Polsek Prigen (jam 08:14), kami langsung belok ke kanan jalan. Nah, dari sini mulai serem. Ada beberapa turunan yang ekstrim, membuat kami harus ekstra hati-hati dan pandai memainkan rem tangan-rem kaki. Banyak pula tanjakan, tapi ada satu tanjakan yang sangat berkesan. Saking terkesannya, mesin motorku sampai gak kuat naik! Tita udah jalan duluan, eh mesinku mati. Hiks. Mana mesin mati di jalanan tanjakan yang sebelahnya ada jurang pula. Akhirnya, sembari menginjak rem kaki (supaya motornya gak berjalan mundur), aku nyalakan kembali motorku, lalu naik dengan menggunakan gigi satu plus teknik berkendara zigzag (ini cukup efektif). Berhasil.
Istirahat dulu buat mendinginkan mesin
            Akhirnya, setelah berkendara kurang lebih 40 menit (dari Polsek Prigen), akhirnya kami sampai ke gerbang masuk Air Terjun dan Bumi Perkemahan Dlundung! Yey! Leganya.
            Oh ya, cuma mau cerita sih. Di sepanjang perjalanan ada BANYAK sekali view yang cantik. Seperti rumah yang dicat berwarna-warni, yang didirikan di atas bukit (pingin foto tapi Tita gak mau berhenti hiks), ada sawah-sawah dengan latar belakang bukit yang sangat bagus (pingin foto tapi Tita gak mau berhenti lagi, huhu), ada lembah yang buagus, ada ranch kuda, dan banyak deh!
            Oke, balik ke gerbang masuk. Sebelum kami diperbolehkan masuk, terlebih dahulu kami harus membayar di loket, sebesar 11.000 per orang. Kemudian, kami bingung, harus parkir dimana. Kata mas-nya, “Parkirnya di sebelah kanan.” LAH? Kanan mana? Begitu aku liat sebelah kanan, ada area campground dan jalannya serem banget. Turun ekstrim, dengan tanah-tanah yang gembur.
            “Yakin ta, yang ini?” tanyaku pada Tita.
Ia menatapku dengan cengiran di wajahnya. “Mosok iki seh, serem banget wah.” katanya.
“Coba tanya’o masnya yang tadi, sebelah kanan yang dimaksud itu yang mana.”
Tita tak menjawab, sorot matanya terlihat ragu. Kemudian, ia melihat wisatawan lain berkendara lurus, lalu belok ke kiri. “Coba ikuti aja orang itu.” kata Tita pada akhirnya.
The parkiran selfie :D
Dan firasat Tita benar. Disana ada beberapa warung-warung dan ada area parkir. Kami memarkirkan motor disana, mendapat karcis parkir, lalu berjalan keluar parkiran.
Mau ke air terjun, nih
            Untuk menuju ke air terjun Dlundung, kami harus menapaki tangga-tangga. Tak jauh sih jaraknya, kurang dari 100 meter, tapi...ada yang salah.
            “Mbeng (panggilanku ke Tita), kok pegel ya?”
            Iyo yo, kok kerasa pegel?”
            “Gini katanya mau menaklukan Mahameru.” ucapku, dia ngakak.
            Yo ngene iki gak tau olahraga.” sahutnya.
            “Ayo wah, masa kalah sama anak kecil didepan.” ucapku memberi semangat.
            “Anak kecil sih enak gak punya beban. Kita punya beban bawa tas (padahal enteng), plus beban hidup pula.” katanya padaku.
Naik segini aja ngos-ngosan
            Kurang dari dua menit, kami sudah sampai di jalanan datar. “Mbeng, itu air terjunnya! Keren ya.” ucapku, dengan nada norak. “Yuk foto-foto.” ajakku, mengeluarkan HP dan memasangi kamera depannya dengan superwide lens.

Kami sampai! Hehehe
            Kami memandangi air terjun itu beberapa saat, lalu menuju ke gazebo untuk duduk. Tapi, gazebo-nya basah, jadi kami duduk di kursi kecil dari batang kayu berbentuk bulat.
Setelah cukup puas foto-foto, kami mulai bercerita. Tentang apa saja, tapi emang kebanyakan kita sambat masalah perkuliahan yang semakin menggila, hehe. Tita cerita kalau di semester 4, ada rasa jenuh untuk kuliah. Tidak sesemangat semester-semester silam.
“Lho, kok sama?” kataku.
“Iya, rasanya lelah aja. Banyak tugas, dan tugas-tugas itu kian hari kian berat levelnya.”
Selama satu jam lebih, kami bercerita ngalor-ngidul, mostly tentang dunia kuliah, kalau gak gitu, tentang organisasi yang diikuti (yang sama-sama bikin gilanya). Selain itu, kami juga sering memundurkan topik pembicaraan ke zaman-zaman SMP, dan zaman-zaman SMA-nya yang penuh drama, hehe.
“Jadi...” katanya, “Kita kesini cuma buat cerita-cerita aja?”
“Haha, iya juga, soalnya suasananya tenang banget. Ketenangan yang tidak akan kita dapatkan di kota asal yang udaranya seperti neraka, hehe.”
“Uh, kalau aja air terjun ini ada di Surabaya, pasti aku bakal kesini terus setiap hari, sepulang kuliah.” ucapnya, seraya ngakak.
Ngobrol sambil sesekali foto-foto, hehe
Kami juga banyak membicarakan soal pengunjung-pengunjung di Air Terjun Dlundung ini, hehe. Diam-diam, sambil duduk santai, kita juga mengamati sekitar, lho.
“Nen, liat mas yang pake baju hitam itu,” katanya sembari menunjuk seseorang. “Dari tadi lho sibuk selfie-selfie sendiri, wkwk”
“Mana? Mana?” balasku, “Oh yang itu ya? Haha, sakno cak. Gak ada temennya ta?”
“Lihat posenya, wkwk.” ucap Tita lagi.
“Heh!” aku tiba-tiba teringat sesuatu, “Kalo kamu gak ikut kesini, aku pasti akan berakhir seperti itu. Foto-foto sendiri, tanpa teman, huahaha.”
            Ada pula ibu-ibu yang terlihat sangat hepi. Dia bolak-balik mengguyurkan kepala dan tubuhnya dibawah air terjun. Ia terlihat sangat menikmati saat air itu membasahi tubuhnya. “Ibu itu lho, hepi banget ya. Kayaknya baru pertama kali ke air terjun deh,” bisikku ke Tita.
            Ada juga gerombolan anak hits yang selfie pake tongsis (pemandangan paling umum yang selalu ada di hampir setiap tempat wisata). Ada pula anak-anak kecil/bocah yang dengan santainya bertelanjang dada atau pake dalaman aja, trus main-main air. Ada rombongan keluarga lengkap (ibu, bapak, anak). Ada pasangan muda yang baru nikah dengan balita mereka. Ada golongan ‘cowok alay with their gank’ yang hobi godain cewek yang lewat (ini yang paling menyebalkan, huft). Ada juga segerombolan anak pramuka, yang heboh foto-foto dengan masih memakai seragam. “Kayaknya mereka baru selesai kemah, trus habis ini langsung balik.” ucap Tita.
Hashtag #ALONE
Ngapain??
Under the waterfall
            Selepas ngobrol, aku dan Tita kembali foto-foto. Semakin lama, semakin banyak orang, dan privasi makin berkurang. Jadi, kami puas-puasin foto dulu, sebelum akhirnya beranjak pergi buat satu alasan krusial: makan.
            “Duh, dimana ya?” kata Tita, “Semua tempat rame.”
            Kami keliling-keliling dulu, sampai warung paling pojok, semuanya sudah penuh orang. Lagian, kami udah bawa bekal sendiri-sendiri, dan gak mau borosin uang buat makan di warung, hehe. Cuma butuh tempat buat duduk aja.
Pose macam apa ini??
            Akhirnya, kami memutuskan untuk menghabiskan bekal di sebuah tempat TANPA ATAP. Jadi, tempatnya kaya bangunan separuh jadi gitu, udah ada ubin-nya, tapi ga ada dinding dan atapnya -_-
            Makanan hampir habis, eh hal yang buruk terjadi. Hujan cuy! Saat masih rintik-rintik, kami menyudahi makan dan langsung bergegas berteduh di dalam musholla. Untungnya, musholla masih sepi. Isinya tak sampai 10 orang.
            Selama setengah jam lebih kami berteduh, dan dirasa sudah terang, kami mulai keluar musholla, menuju parkiran buat ambil motor, pasang jas hujan (buat persiapan) dan langsung pulang! FYI, bayar parkirnya 3000/motor.
            Dan, memang benar bakal hujan lagi. Kami meneruskan perjalanan dengan pelan dan ekstra hati-hati. Apalagi saat menuruni jalan yang licin, hehe. Tapi, sisi positifnya, tanjakan tadi yang sangat susah dilalui, menjadi lebih mudah dilewati saat hujan. Entah kenapa, lebih terasa enteng naik tanjakan saat hujan.
            Kami mengemudikan motor terus, hingga di sekitaran Polsek Prigen, hujan berhenti. Aku bilang ke Tita, “Yuk, mampir ke Candi yang tadi.”
            Jam setengah satu siang kami tiba di Candi. Memarkirkan motor, lalu melepaskan jas hujan dan berjalan masuk ke area Candi Jawi, Pasuruan. Bagus banget! Hal pertama yang membuatku terpukau adalah kolam ikannya. Airnya jernih, ikannya banyak dan kolam itu dibuat mengelilingi candi. Agak mirip selokan sih bentuknya.
Pemandangan parkiran, jalan dan kolam ikan dari atas Candi Jawi
            Setelah mendaftarkan nama ke petugas yang tengah berjaga, lalu memberikan uang “seikhlasnya”, kami mulai masuk ke area Candi Jawi. Kami langsung menuju ke belakang candi yang masih sepi. Mengistirahatkan tubuh.
Candi Jawi tampak belakang
Orang-orang piknik
Penanggungan dari Candi Jawi
            Dari belakang candi, terlihat ada Gunung Penanggungan yang terlihat jelas bentuknya. Ada reruntuhan candi lain di ujung sana. Ada taman yang luas, dengan rerumputan yang terpangkas rapi dan sebuah pohon yang amat sangat besar (mungkin sudah tumbuh dari ratusan tahun yang lalu). Dan, ada segerombolan bapak-ibu dan anaknya yang piknik bersama.
            Kami duduk-duduk sembari kembali mengobrol. Lalu, setelah Tita meng-upload foto-foto untuk Instagram barunya, kami berkeliling candi. Aku tertarik dengan relief di dinding candi, mungkin karena akhir-akhir ini aku membaca buku berjudul “Antologi Sastra Daerah”.
            Pada relief di dinding candi, aku melihat banyak sekali gambar, diantaranya gambar rumah dan istana kerajaan, gambar tanaman (perlambang kehidupan pertanian di masa lampau), gambar kuda dan gajah (perlambang moda transportasi perang di zaman dahulu), gambar wanita-wanita (ada yang telanjang, ada yang memakai jarik/pakaian tradisional), ada patih-patih dan hulubalang kerajaan, dan lain sebagainya. Aku tak sempat mengamati dengan detail karena itu butuh waktu lama, dan kami memiliki keterbatasan waktu disini.
Kami dengan background relief candi
Bukan pencitraan, aku benar-benar tertarik dengan relief itu
Relief wanita
            Kami beranjak menuju ke bagian depan candi. Mulai banyak orang berdatangan, dan mereka sibuk foto di tangga dan bagian atas candi. Mau tak mau, memang harus bergantian. Jadi, kami menunggu sambil foto-foto di bagian lain dari candi ini.
Tita the explorer
#OOTD #SandalCute
Mabok abis perjalanan jauh
Nunggu sepi euy (mustahil)
            Dan... Candi ini tak pernah sepi dari pengunjung, jadinya gak bisa kita foto sendirian dan terasa ekslusif, tanpa ada kehadiran manusia-manusia lain dalam frame kita. Tak apalah, kita sama-sama berbagi space buat foto-foto, hehe.


#Model #Fail
 Hashtag #ALONE (lagi)
            Kami kemudian naik ke atas. Takjub rasanya melihat semua dari sini. Semakin kagum pula atas peninggalan bersejarah ini. Area Candi Jawi ini memiliki kolam ikan yang airnya jernih, ikannya banyak, jarang ada sampah dalam kolam itu. Rumput di sekeliling candi nampak hijau, terpangkas rapi dan jarang ada sampah juga diatasnya. Candinya sendiri masih sangat terawat, aku tak menemukan sedikitpun coret-coretan “tangan nakal” atau vandalisme, yang biasanya banyak bertebaran di tempat-tempat wisata Indonesia pada umumnya. Kala malam tiba, ada lampu sorot yang menyala menerangi candi. Keseluruhan candi ini nampak terawat. Hanya ada satu kekurangan: area parkir yang sempit! Parkirnya ada di pinggir jalan, cukup sempit bagi motor, apalagi bagi mobil. Itu satu-satunya hal yang harus dibenahi dari candi ini.
Bagian atas candi
Bagian dalam candi

Suasana sekitar Candi Jawi
            Namun, dibalik terawatnya candi ini, adakah para orang yang bekerja disini telah disejaterahkan? Telah cukupkah gaji yang mereka terima? Entahlah.

Jangan nyebur pliz
Bertapa
            Kami pun beranjak untuk foto-foto di pinggir kolam. Kami tidak ingin melupakan bahwa candi ini memiliki kolam ikan yang indah, dengan ratusan (atau mungkin ribuan) ikan yang berenang-renang, serta bunga teratai yang indah bertebaran, sulit rasanya untuk tidak mengabadikan semua itu dalam gambar.

Diantara reruntuhan
            Kami juga bertandang ke bagian belakang candi, tempat dimana taman yang luas dan reruntuhan candi lain berada. Wuih, asik banget disini! Rumputnya empuk, tamannya luas, hawanya sejuk, jadi pingin tidur-tiduran sambil baca novel, hehe.
Cover film Boyhood
Perih euy saat liat langit, hehehe
Tak lupa, pose-pose klasik saat bertandang ke tempat wisata: pose LOMPAT!
Lagi nari, buk?
Lari di udara
Ngapain nak??
Pukul 2 siang, kita memutuskan untuk pulang. Langit mulai mendung, ada rona-rona kelabu bertebaran di cakrawala siang. Kami terus melajukan motor. Sampai di jalan raya Gempol, Pasuruan, rintik-rintik hujan mulai berjatuhan, setetes demi setetes. Tita meminta untuk berhenti dan memasang jas hujan. Dan.... Tak sampai lima menit, hujan sudah mengguyur dengan derasnya. Bukan sekedar hujan tapi hujan angin!
Kami berdua terus berjuang, sama-sama melajukan motor dengan kecepatan konstan. Aku jadi ingat pesan ibunya Tita, kami harus pulang sebelum matahari terbenam. Maka dari itu, tetap berkendara walau cuaca ekstrim adalah jalan satu-satunya. Tak mungkin  kami menunggu hujan reda. Kami tetap berkendara, walau kecepatan harus kami turunkan dibawah 60km/jam.
Hujan datang dari arah samping, maka ketika kami berbelok sedikit di putar balikan di bawah jalan tol, mataku terasa sangat perih. Gimana tidak? Aku tak mungkin menutupi mata dengan kaca helm (karena pemandanganku akan kabur, dan tak bisa melihat apa-apa, justru akan jauh lebih berbahaya), maka aku nekat menerabas hujan walau mataku serasa ditusuk-tusuk oleh air yang berjatuhan itu. Ya begitulah memang kalau lagi hujan angin :’)
Kami berteduh sebentar dibawah jalan tol. Disana juga banyak orang yang sedang berteduh, bahkan ada pula penjual pentol, hehe. Dia bisa mencium firasat bagus akan datangnya pembeli ternyata, hehehe.
“Mbeng, berteduh bentar kah? Setengah jam lagi mungkin reda.”
“Yaudah deh.”
“Oh ya, kabari ibumu, gih. Posisi kita ada dimana sekarang.” ucapku. Ia menyuruhku membuka tasnya dan mengambil hp nokia jadulnya.
Saat Tita mengetik, aku mulai sadar akan sesuatu. Aku ingat berita di koran Kompas, yang menyebutkan kalau daerah jalan Raya Porong, jika terkena hujan deras, akan mengalami banjir yang amat dalam. Serem! Apalagi, di berita itu menyebutkan kalau kereta api bahkan sampai ga bisa beroperasi, saking tingginya banjir di daerah itu.
“Mbeng, kayaknya kita harus jalan terus, deh.” ucapku padanya. “Bukan apa-apa, tapi daerah Porong itu kalau kena hujan deras bakal banjir, dan itu berarti kita gak bakal bisa pulang.”
Akhirnya, kami mulai berkendara lagi, dengan kecepatan tak terlalu tinggi dan ekstra hati-hati. Air hujan mulai memasuki sela-sela jas hujanku yang sedikit robek. Aku takut kalau airnya bakal membasahi barang-barang elektronikku (hp, kamera). Jadinya, aku menitipkan barang itu ke tas Tita, saat kami sudah melewati Porong, Sidoarjo.
Di beberapa tempat, ketinggian air yang membanjiri jalan memang luar biasa. Aku takut bila air itu membasahi busi motorku, dan membuat motorku mogok seketika. Aku jadi ingat pengalamanku saat ke Ranu Agung dulu, yang membuat motorku hampir mogok. Untungnya, waktu itu kita lagi touring dan ada mekanik handal yang bisa menyelesaikan masalah itu seketika.
Jadi, aku mempraktekan ilmu yang sudah ku dapat waktu touring ke Ranu Agung dulu: 1) hindari berkendara di lajur sebelah kiri, karena lajur sebelah kiri cenderung lebih rendah permukaan aspalnya, daripada yang ada di jalur kanan 2) berjalan ekstra pelan saat melewati genangan air yang dalam, karena jika kita berkendara cepat/kencang, maka air itu akan lebih cepat memasuki mesin motor kita, 3) usahakan gas motor nyala terus, bahkan saat di lampu merah.
Di daerah perbatasan Surabaya-Sidoarjo, sekitaran pom bensin Aloha, airnya menggenang tinggi. Tapi, seusainya, aspal hanya basah saja. Bahkan, di Surabaya, aspalnya kering. Tidak ada tanda-tanda hujan. Langitnya pun hanya mendung sedikit saja.
Kami bertandang ke pom bensin Ngagel karena Tita merasa bensinnya telah habis. Aku mengambil barang-barangku, memasukkannya ke tas, dan kami pulang ke rumah masing-masing. Sekitar jam 4 sore aku sampai di rumah, ngerasa tepar dan kedinginan.
Nih nota bensinku
Oh ya, bensinku hanya habis 2 liter lho, hehe. Masih ada sisa 1 liter di tangki motor, dan bisa kugunakan dalam kurun waktu 1-2 hari kedepan. Cukup hemat juga ya :’) terharu wkwk. Beda sama di dalam kota, bensin satu liter, dalam kurun waktu satu hari saja sudah menguap :’)
Jadi...kapan traveling lagi? :)

4 komentar:

  1. Kok luwucyuuu ngene ceritane wkwk. Foto2 akeh seng nunjukno nek aku emang alone hiks

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wkwk ayo segera "berburu" kaak, biar ada yg nemenin selfie bareng selain aquh :3

      Hapus
  2. Balasan
    1. buka apanya mas? air terjun dlundung atau candi jawi? hehehe

      Hapus

Think twice before you start typing! ;)

 

Goresan Pena Nena Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template