Minggu, 12 April 2015

Gelungan dalam Ruangan

Kamar ini berbau seperti kematian. Tapi, aku tetap tinggal didalamnya.
          Lihatlah kasurnya yang berasal dari jalinan serat kapas yang keras, dilapisi oleh kain usang berwarna merah muda dan putih. Tembok-tembok bercat putih, mengelupas, membentuk kerak-kerak layaknya benua. Bahkan, jika kau iseng, kau bisa membuat benuamu sendiri, dengan menguikkan ujung kukumu yang tajam, lalu kelupaslah hingga kau puas. Beberapa kali aku membuat karya, dengan membentukkan benuaku sendiri, Amerika atau Afrika, yang telah di modifikasi.
          Tak jauh dari tempatmu berbaring, ada kipas angin reot yang berdaya listrik 20 watt. Menghembuskan kelegaan singkat karena udara menerjang ke arahmu, mendinginkan suhu kamar yang mencekik layaknya neraka. Tapi, karena reot dan murahan, kipas angin itu akan mengibas seperti tengah sekarat saat musim kemarau. Dan, nikmati itu, siang-siang yang sungguh terik sehingga kau ingin menceburkan diri ke bak mandi seperti seekor kudanil.
          Di atas sana, jalinan benang-benang kelabu merambati langit-langit seperti wabah. Mulanya hanya di pojokan, lalu merambat, merambat dan merambat, dan memenuhi seisi ruangan. Menjijikan. Untungnya, aku tidak takut laba-laba atau sulurnya yang menggelayut di atas, jadi, aku tetap bertahan di ruangan terkutuk ini.
          Lantainya pun menyedihkan. Keramik-keramik putih itu pernah dibuat seseorang yang tak berseni hingga menjadi kacau balau. Tergores kuas-kuas dan lelehan cat minyak berwarna biru tua. Mengotori, menjadikannya makin tak artistik. Maka, putih bercampur dengan biru, seperti awan dan langit, tapi dalam versi yang menjijikkan.
          Tapi, betapa pun menyedihkan, aku tetap tinggal. Karena, sesuatu pernah terjadi didalamnya. Dan aku terlibat, tercengkram kekuatan aneh sehingga membuatku betah. Atau ini hanya ilusi dalam otak yang di akibatkan oleh kenangan.
***
          Aku tinggal sendiri, semenjak statusku sebagai seorang mahasiswa, aku merantau ke suatu kota yang jauh, hingar bingar nan gemerlap dan bisa membuatmu terlena. Ibu dan Bapak pun merelakan anak sulungnya ini pergi, mencari penghidupan dan jati diri sendiri. Dua puluh tahun usiaku waktu itu. Aku masih ingat betul.
          Ku ambil suatu studi yang tidak terlalu ku minati, tapi mau tak mau harus ku jalani. Strata satu untuk Kedokteran. Prestisius. Sangat bergengsi. Dan itulah yang selalu membuat Bapak-Ibuku dan tetangga-tetangga di dusun kecilku mengelu-elu akan diriku. Padahal, delapan belas tahun aku tinggal disana, tak seorang pun memujiku atau menyanjungku, karena aku adalah salah satu kriminal cilik, dulunya.
          Dan aku tinggal di satu rumah kecil berkamar lima, yang tiap-tiap biliknya harus dihuni oleh dua orang kepala. Tapi, aku tidak. Aku berkeras membayar ganda untuk kamarku sendiri, berdebat kecil dengan Ibu kos yang semula tak memahami keinginanku. Maka, ku tambahlah pundi-pundi uang, plus sogokan kecil berupa cemilan-cemilan di akhir minggu.
          Maka, bebaslah aku menjadi diriku sendiri di ruangan berukuran empat kali lima, plus kamar mandi kecil didalamnya. Tak ada yang akan protes mengenai ruangan yang seperti kapal pecah, atau berdebat dengan teman kos mengenai keributan yang kau hasilkan. Tak ada yang akan mengeluh mengenai lenguhanmu kala beronani, atau tak ada yang mengomel karena kotoran busuk yang dihasilkan oleh kucing jalanan yang kau pelihara. Betapa menyenangkannya.
          Dan itu akan berlangsung selama lima tahun.
***
          Tapi, sesuatu terjadi setelah tiga tahun menghuni kamar apek itu.
          Mulanya, aku melihat kucing jantanku, berdarah di bagian pelipis dan sebelah matanya berair. Lebam. Seperti bukan hasil dari pertengkaran sesama kucing, memperebutkan kucing betina yang menanti bagaikan seekor lonte. Lebam. Biru. Memar. Seperti hasil dari pukulan, atau hantaman.
          Jadi, aku membuntuti kucing itu selama satu hari penuh. Dan begitu mudah menemukan akibatnya. Seorang setan kecil, yang berwujud dalam seorang anak balita, tapi begitu sadis, hingga tak pernah kau menyangka ia adalah anak laki-laki berusia empat tahun. Apa yang menyebabkan setan itu menjadi seorang dengan bibit psikopat, itu bukan urusanku.
          Lihatlah, di hari pertama pengintaian, ia menginjak seekor anak ayam hingga mletet dan terburai isi perut dan kotorannya, berdarah-darah dan mengalir dalam tanah. Setan kecil itu hanya tertawa-tawa, lalu masuk kerumah dan meminta segelas susu pada Ibunya seolah tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya.
          Hari kedua, giliran sekawanan semut yang tengah menggotong makanan, yang apes pada hari itu. Anak kecil itu menginjak-injaknya dengan melompat, hingga menyebabkan buku-buku jari kakinya digigit oleh sekawanan semut yang tak terima. Ia marah. Lalu kembali dengan korek api gas milik abangnya, dan membakar liang milik semut yang tak berdosa itu.
          Sudah ratusan jiwa yang ia matikan dalam dua hari terakhir. Dan aku mengutuki Tuhan, karena Ia tidak berbuat apa-apa untuk membalas setan kecil ini.
          Hari ketiga, aku tak sempat mengintainya, karena ada kuliah selama sehari penuh.
          Hari keempat, sedikit membuatku mendidih karena melihat dengan mata kepala sendiri, kucing jantanku, disiksa oleh tangan mungilnya. Anak itu menginjak ekornya, melemparnya dengan sebongkah batu yang cukup besar, dan mengguyurnya dengan seember air. Kucingku lari terbirit-birit. Kucing lain lewat, dan ia mencabuti bulu-bulunya dalam satu tarikan hingga kucing itu menjerit. Botaklah sebagian tubuhnya oleh jambakan anak itu.
          Ibu anak itu, seorang perempuan muda dengan wajah berminyak, yang belasan tahun lebih tua dari usianya, kulitnya yang kehitaman dan lemak-lemak yang menumpuki beberapa bagian tubuhnya, serta berpakaian baby doll, melihatnya dengan tatapan datar sembari kadang, menyuapi anaknya dengan nasi berlauk telur dadar. Ia merestui segala tindakan anaknya yang sadis, sepertinya, karena ia melihat semua kejadian itu tanpa ekspresi yang berarti. Sekedar tidak pun, tidak ada.
          Akan jadi anak apa dia, itu bukan urusanku. Tapi, darahku sudah terlanjur mendidih selama empat hari terakhir. Dan, aku hampir tidak sanggup melihat darah dan nyawa terus mengalir.
***
          Maka, aku membeli berbagai hal yang dibutuhkan. Selamat tinggal jatah makanku untuk tiga hari, karena aku akan menggantungkan isi perutku pada berbungkus-bungkus Indomie setelahnya. Tak mengapa, ini hanya sementara.
          Meski aku merutuki, tapi untuk hari ini, aku akan berterima kasih pada dosen-dosenku, dan juga buku-buku tebal Kedokteran dengan bahasa yang menjemukan. Tapi darinya aku memperoleh ilmu. Tak mengapa, hari-hari membosankan penuh teori itu akan kuputarbalik menjadi praktikal.
          Sarung tangan karet berwarna kuning pucat sudah menempel erat di telapakku, pun juga masker putih yang menahan hidung dan mulutku. Koran-koran menutupi lantai keramik yang tak artistik itu, yang diatasnya terdapat sebuah bak yang biasa kugunakan untuk mencuci pakaian, melingkupinya dengan berita jual beli saham dan tawaran kerja di kolom yang membosankan. Untunglah, berita-berita menarik sudah ku singkirkan, karena niat awalku bisa berubah menjadi membaca berita-berita itu. Aku calon dokter yang mudah terdistraksi.
          Dengan satu sentakan, gelembung itu memburai menjadi lelehan. Hilang sudah rengekan itu, berganti dengan darah yang tak henti-hentinya mengalir. Aku tak mengenakan jas lab-ku waktu itu, jadi aku takkan mengotorinya dengan sesuatu yang tak perlu. Biarlah hanya tangan telanjangku yang tergenang oleh darah hingga sebatas siku, karena lebih mudah mencucinya dengan sabun mandi, lalu semuanya akan musnah begitu saja.
          Ku keluarkan organ-organ dalamnya, dan ku pisahkan ke dalam sebuah kantong plastik hitam yang telah didobel menjadi tiga. Nanti akan ku tambahi lagi menjadi empat, jika diperlukan. Selesai sudah, semua organ, tulang belulang, usus-usus yang melingkar-lingkar, hati yang lentur bagaikan agar-agar, hingga tai-tai yang berwarna cokelat kekuningan, masuk ke dalam kantong plastik itu. Sore nanti, aku akan keluar dengan ransel di punggungku yang berisi kantong ini, lalu membuangnya ke kali Ciliwung bagai membuang sampah.
          Sementara, kulitnya yang masai dan kepalanya yang telah bersih dari otak (ku congkel bagian belakang tulang kepalanya yang masih lunak), ku angin-anginkan dalam kamar mandi hingga kering. Dua jepitan plastik mencubit kulit bahu, menggantung pada tali jemuran di atas bak mandi. Dalam satu atau dua hari, seluruhnya akan kering, lalu ku tambal dalamnya dengan kapuk, dan ku jahit dengan rapi nantinya.
          Tapi, itu nanti. Sementara menunggu sore, aku akan makan dan ngopi sebentar di warung sebelah.
***
          Enam bulan kemudian, aku pergi ke kampung halamanku, di liburan semester akhir, sebelum sidang skripsi.
          Ransel hitamku padat oleh pakaian, sementara kardus yang ku tenteng berisi makanan oleh-oleh untuk keluarga. Ada juga teddy bear besar didalamnya, yang ku mampatkan dengan sepenuh jiwa, lalu ku lakban kardus itu sesudahnya. Menggembung.
          Turun dari terminal, aku menyetop becak untuk membawaku ke dusun kecil, tempat tanah gembur bersaksi dan menjadikannya ladang terbaik untuk menanam jagung. Satu tahun tak pulang, tanah yang semula bebatuan keras, menjelma menjadi jalan aspal. Untunglah, bupati baru dan pasangannya itu tidak bullshit. Ada perubahan yang terjadi.
          Ponakanku, Zalfa, berlari menghambur ke halaman untuk menyambutku. Entah ia memang sayang padaku, pamannya satu-satunya, atau ia tak sabar menerima hadiah yang ku janjikan lewat telepon berbulan-bulan yang lalu.
          Teddy bear besar itu ku lungsurkan kepadanya dalam keadaan terbungkus plastik. Ujungnya, terikat sebuah pita merah muda, yang selaras dengan warna bonekanya. Zalfa mendekap erat boneka itu dan membawanya berkeliling rumah dan memamerkannya kepada tetangga sepanjang hari.
          “Boneka yang bagus.” Ibu berucap. “Pasti disana banyak sekali boneka yang jauh lebih besar dari itu.”
          “Yang satu meter setengah saja ada kok, Bu’e.”
          “Gimana magangmu?”
          Lalu, obrolan beralih ke studiku, yang kini tak terasa menjemukan lagi.  Tak terucap, memang, tapi dari nada suara dan gerak tubuh, Ibu dan Bapak nampaknya tak sabar untuk memamerkan ke tetangga bahwa dua tahun mendatang, anak sulungnya akan menjadi dokter beneran. Isu itu akan panas, menyaingi isu kades Soegono yang kabarnya akan naik haji lagi tahun depan. Nampaknya, tingkat kegengsian dokter dan haji saling bersaing-saingan.
          “Oh ya, Le, Bapak lupa.” Ia mematikan rokoknya dan menjejalkan puntungnya ke asbak, mematikan genih-nya. “Kasus bocah hilang itu kejadian ya, di sekitar kosmu?”
          Aku mengangguk. “Sampai sekarang belum ketemu, Pak, pelakunya.”
          Bapak menggeleng-geleng. “Zaman sekarang, kayak gitu udah biasa, kayaknya. Hari ini orang hilang, besok pemerkosaan, besoknya lagi rampok. Kota besar itu ngeri, Le.”
          Aku hanya mengangguk, lalu melungsurkan jajanan dalam kardus pada Bapak. Bapak meminta Ibu untuk membawakan toples-toples, untuk diisi, karena sebelumnya, toples berdebu itu hanya penuh pada saat lebaran saja.
          “Yaudah, kamu ati-ati aja, ya, Le. Bapak percaya, kamu bisa jaga diri kok.”
          Aku mengangguk lagi, sembari mengemil emping balado yang kini tertuang dalam toples. Menyisakan warna merah, abu jajanan itu di kulit ari jemariku. Warna yang ku suka.

Selesai pada Minggu, 12 April 2015, 03:36.

*Note : bocah kejam itu memang ada di kehidupan nyataku, tapi dalam versi kekejaman yang lebih rendah

0 komentar:

Posting Komentar

Think twice before you start typing! ;)

 

Goresan Pena Nena Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template