Pagi-pagi ini kaki ku langkahkan menuju pasar dekat
rumah. Hanya 500 meter saja jaraknya. Sembari memasang jaket, mencoba mengusir
hawa dingin dan dorongan untuk tidur kembali, sepasang alas kaki ku susupkan
diantara celah-celah jemari. Siap pergi.
Selalu
ada yang berbeda di setiap pagi. Bersihnya udara adalah salah satu yang pasti,
menyambutmu dengan senyuman tanpa henti. Hirup! Cobalah hirup! Betapapun
bisingnya kota ini, pagi hari selalu menawarkan sesuatu yang sama sekali baru.
Jerejuk oksigen-oksigen baru dari pucuk-pucuk daun bergelung dalam paru-paru.
Bekas-bekas tetesan embun memeluk dengan kesejukan yang memikat.
Langit
pagi ini biru. Biru tanpa awan. Biru muda yang sama dengan salah satu pensil
warnaku. Biru yang tidak pernah ku temui dimanapun, kecuali langit. Seolah
bentangan telah memiliki paten atas warna itu. Bahkan laut pun membisu,
mengalah dengan tidak memancarkan warna yang sama.
Aku
selalu menyukai aktivitas kecilku ini, berjalan kaki perlahan, menikmati suasana
sekitar seperti tak pernah ku jumpai sepanjang usiaku. Padahal telah belasan
tahun aku tinggal disini, menumbuhkan diri dari seorang bocah kecil menjadi
seorang yang menginjak usia legal hukum, sebutanku untuk dewasa.
Tunas-tunas kecil di jalan berpetak seperti rumah-rumah peri, dengan dedaunan
mungil tak lebih besar dari kuku jari. Dinding bata, merah jingga, terlihat
seperti rumah-rumah tua di desa. Wajah-wajah ramah yang ku temui, menyapa
terkadang, tetapi lebih sering hanya menyunggingkan senyuman.
Pagi
memang selalu indah.
***
Pasar
itu sebenarnya tak ada beda dengan yang lainnya, sama-sama riuh, sedikit kumuh,
berpetak-petak kecil seperti rumah kos yang berjejeran. Pedagang hanya tinggal
selama beberapa jam, menawarkan apa saja yang mereka punya. Tak ada barang yang
spesial yang hanya pasar ini miliki. Ini hanya pasar biasa.
Tetapi,
wajah-wajah yang berseliweran, datang, pergi atau menetap, selalu menyajikan
kisah-kisah, yang hanya kau pahami jika kau mau melihat dan mendengar. Kerutan pada
wajah kakek pemilik kelontong tak menghalangi sigapnya ia melayani pembeli.
Kelincahan ibu-ibu bersarung batik pemilik dua wadah besar berisi tahu, tetesan
yang bermunculan di dahi wanita tua yang memarut kelapa menjadi santan,
teriakan “dipilih-dipilih” dari
seorang Bok1 dengan kerpus2 cokelat, menawarkan
sayuran, ikan dan bumbu dapur, lelaki muda yang menunggu ibunya berbelanja
diatas motor bebek, terlihat jenuh dengan sekitar, kaki-kaki yang diselonjorkan
di giras pasar, hingga anak-anak berbadan ringkih yang lelap di sudut kios
menyiratkan banyak hal.
Hal
yang hanya kau pahami jika mau melihat lebih dalam.
***
Seribu
wajah itu hilir mudik. Datang dan pergi.
Manifestasi
kehidupan berada di tengah pasar, yang tradisional tentunya. Kadang ia hanya
menyiratkan sebagian, sisanya hilang untuk ditelan. Terkadang, aku menerka,
seperti apa rupanya pasar di lain daerah? Atau lebih jauh, di abad-abad yang
telah dimakan zaman. Pasar di kerajaan Mataram, Majapahit, atau Kartanegara,
seperti apa ya? Kubayangkan, pembeli dan penjualnya memakai jarik, bertelanjang kaki dan membawa
pulang hasil bumi dengan kedua lengan. Tidak ada kresek di masa itu.
Tak
perlu waktu lama untuk mengubah, hanya butuh beberapa tahun, tak kurang dari
satu atau dua dekade. Pasar tradisional kini bukanlah tempat orang-orang
kalangan bawah. Mungkin, kau harus melongok ke dalam dan melihat adanya TV plasma di kiosnya. Atau, tablet-tablet terbaru yang dimainkan
anak-anak penjualnya. Pembeli pun datang dengan motor-motor gress, memacu kendaraan hanya untuk
jarak yang sekian dekatnya. Segalanya telah berubah.
Meski
telah sedemikian maju, ada saja lolongan keluhan dan umpatan yang tersembunyi
dibalik relung-relung kepala, berbisik lekas-lekas lalu terlepas. Wajah-wajah
itu, membisikkan sesuatu tanpa harus bersuara. Harga-harga, terutama. Mengutuk
pemerintahan baru karena kenaikan yang terus melaju, seperti yang selalu
terjadi. Menjadi keluhan rutin bagi mereka, wajah-wajah yang datang, pergi
ataupun menetap. Lalu diam-diam berhenti ketika harga itu mulai bersahabat
kembali.
Wajah-wajah
yang memaparkan seribu kisah, seribu cerita, ribuan kata-kata tanpa harus
bersuara. Yang jenuh tapi tetap tinggal, yang lelah tapi tetap bertahan, yang
suka dalam balutan luka, yang sedih tapi terus menanti, yang muak tapi terus
datang.
Seribu
wajah yang ku temui hari ini memberikan arti, yang hanya kau mengerti jika kau
mau memahami.
Surabaya,
11 Juli 2015, 07:55
NOTE:
1 : Sebutan untuk ibu/wanita dewasa (Bahasa Madura)
2 : Dalaman kerudung
0 komentar:
Posting Komentar
Think twice before you start typing! ;)