Sabtu, 11 Juli 2015

Pasar Seribu Wajah

Pagi-pagi ini kaki ku langkahkan menuju pasar dekat rumah. Hanya 500 meter saja jaraknya. Sembari memasang jaket, mencoba mengusir hawa dingin dan dorongan untuk tidur kembali, sepasang alas kaki ku susupkan diantara celah-celah jemari. Siap pergi.
            Selalu ada yang berbeda di setiap pagi. Bersihnya udara adalah salah satu yang pasti, menyambutmu dengan senyuman tanpa henti. Hirup! Cobalah hirup! Betapapun bisingnya kota ini, pagi hari selalu menawarkan sesuatu yang sama sekali baru. Jerejuk oksigen-oksigen baru dari pucuk-pucuk daun bergelung dalam paru-paru. Bekas-bekas tetesan embun memeluk dengan kesejukan yang memikat.

            Langit pagi ini biru. Biru tanpa awan. Biru muda yang sama dengan salah satu pensil warnaku. Biru yang tidak pernah ku temui dimanapun, kecuali langit. Seolah bentangan telah memiliki paten atas warna itu. Bahkan laut pun membisu, mengalah dengan tidak memancarkan warna yang sama.
            Aku selalu menyukai aktivitas kecilku ini, berjalan kaki perlahan, menikmati suasana sekitar seperti tak pernah ku jumpai sepanjang usiaku. Padahal telah belasan tahun aku tinggal disini, menumbuhkan diri dari seorang bocah kecil menjadi seorang yang menginjak usia legal hukum, sebutanku untuk dewasa. Tunas-tunas kecil di jalan berpetak seperti rumah-rumah peri, dengan dedaunan mungil tak lebih besar dari kuku jari. Dinding bata, merah jingga, terlihat seperti rumah-rumah tua di desa. Wajah-wajah ramah yang ku temui, menyapa terkadang, tetapi lebih sering hanya menyunggingkan senyuman.
            Pagi memang selalu indah.
***
            Pasar itu sebenarnya tak ada beda dengan yang lainnya, sama-sama riuh, sedikit kumuh, berpetak-petak kecil seperti rumah kos yang berjejeran. Pedagang hanya tinggal selama beberapa jam, menawarkan apa saja yang mereka punya. Tak ada barang yang spesial yang hanya pasar ini miliki. Ini hanya pasar biasa.
            Tetapi, wajah-wajah yang berseliweran, datang, pergi atau menetap, selalu menyajikan kisah-kisah, yang hanya kau pahami jika kau mau melihat dan mendengar. Kerutan pada wajah kakek pemilik kelontong tak menghalangi sigapnya ia melayani pembeli. Kelincahan ibu-ibu bersarung batik pemilik dua wadah besar berisi tahu, tetesan yang bermunculan di dahi wanita tua yang memarut kelapa menjadi santan, teriakan “dipilih-dipilih” dari seorang Bok1 dengan kerpus2 cokelat, menawarkan sayuran, ikan dan bumbu dapur, lelaki muda yang menunggu ibunya berbelanja diatas motor bebek, terlihat jenuh dengan sekitar, kaki-kaki yang diselonjorkan di giras pasar, hingga anak-anak berbadan ringkih yang lelap di sudut kios menyiratkan banyak hal.
            Hal yang hanya kau pahami jika mau melihat lebih dalam.
***
            Seribu wajah itu hilir mudik. Datang dan pergi.
            Manifestasi kehidupan berada di tengah pasar, yang tradisional tentunya. Kadang ia hanya menyiratkan sebagian, sisanya hilang untuk ditelan. Terkadang, aku menerka, seperti apa rupanya pasar di lain daerah? Atau lebih jauh, di abad-abad yang telah dimakan zaman. Pasar di kerajaan Mataram, Majapahit, atau Kartanegara, seperti apa ya? Kubayangkan, pembeli dan penjualnya memakai jarik, bertelanjang kaki dan membawa pulang hasil bumi dengan kedua lengan. Tidak ada kresek di masa itu.
            Tak perlu waktu lama untuk mengubah, hanya butuh beberapa tahun, tak kurang dari satu atau dua dekade. Pasar tradisional kini bukanlah tempat orang-orang kalangan bawah. Mungkin, kau harus melongok ke dalam dan melihat adanya TV plasma di kiosnya. Atau, tablet-tablet terbaru yang dimainkan anak-anak penjualnya. Pembeli pun datang dengan motor-motor gress, memacu kendaraan hanya untuk jarak yang sekian dekatnya. Segalanya telah berubah.
            Meski telah sedemikian maju, ada saja lolongan keluhan dan umpatan yang tersembunyi dibalik relung-relung kepala, berbisik lekas-lekas lalu terlepas. Wajah-wajah itu, membisikkan sesuatu tanpa harus bersuara. Harga-harga, terutama. Mengutuk pemerintahan baru karena kenaikan yang terus melaju, seperti yang selalu terjadi. Menjadi keluhan rutin bagi mereka, wajah-wajah yang datang, pergi ataupun menetap. Lalu diam-diam berhenti ketika harga itu mulai bersahabat kembali.
            Wajah-wajah yang memaparkan seribu kisah, seribu cerita, ribuan kata-kata tanpa harus bersuara. Yang jenuh tapi tetap tinggal, yang lelah tapi tetap bertahan, yang suka dalam balutan luka, yang sedih tapi terus menanti, yang muak tapi terus datang.
            Seribu wajah yang ku temui hari ini memberikan arti, yang hanya kau mengerti jika kau mau memahami.

Surabaya, 11 Juli 2015, 07:55

NOTE:
1 : Sebutan untuk ibu/wanita dewasa (Bahasa Madura)

2 : Dalaman kerudung

0 komentar:

Posting Komentar

Think twice before you start typing! ;)

 

Goresan Pena Nena Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template