Minggu, 16 Desember 2018

Kedai Kopi dan Sekelumit Obrolan


Dua gelas minuman dan dua kotak makanan di atas meja telah lama tandas. Sayup-sayup, musik mengalunkan lagu yang tengah masuk top-chart Minggu ini. Tidak bisa dibilang cukup tenang untuk mengobrol, tidak juga bising hingga menyulitkan untuk saling berbicara. Hampir semua meja terisi penuh. Aku mengedarkan pandang ke sekeliling, ada yang terbahak-bahak saat bermain uno dengan teman-temannya, ada yang menatap sendu pasangan di depannya, ada pula yang serius mengetikkan sesuatu di atas keyboard laptop miliknya. Sejatinya, kedai kopi ini normal-normal saja untuk ukuran Sabtu malam di Surabaya.

Tiba-tiba, sepenggal pertanyaan membuatku teralih dari kerumunan. Pertanyaan itu datang dari laki-laki di hadapanku. "Kamu kemarin galau kenapa?"


Ingatanku ditarik pada peristiwa satu minggu yang lalu. Aku pernah sedemikian kalutnya hingga menelepon semua sahabat dan orang terdekatku di jam ketika mereka semua sibuk bekerja. Tak ada jawaban. Aku melarikan diri ke sudut pantai dekat rumah, jauh dari keramaian dan membuang semua air mataku disana. Langit biru, perahu yang dihempas ombak serta dedaunan yang ditiup angin adalah saksi bisu kejadian itu.

Konyol sekali aku pernah menangisi laki-laki yang tidak pernah jadi milikku. Dan itu tidak hanya sekali terjadi.

"Nggak, nggak papa. Aku sudah merasa tegar sekarang," ucapku, mengalihkan perhatian dari kejadian itu. Sungguh, aku ingin melupakan semuanya.

Ia tersenyum. Tak lama kemudian, ia bertanya lagi. "Kamu pernah sakit hati nggak? Gara-gara apa?"

Pertanyaan yang sungguh mudah dijawab. "Pernah dekat, kemudian ditinggal gitu aja. Tapi, aku nggak punya hak apapun untuk menuntut. Siapa aku?" jawabku, mengulas sedikit senyum namun dengan tatapan pilu.

Ia pun bercerita bahwa ia juga pernah mengalami hal itu sebelumnya. Cerita demi cerita bergulir, kepedihan dan seluruh luka seolah ditumpahkan semua di atas meja. Membuka kembali luka lama tidak pernah mudah, apalagi dalam kisah itu terselip harapan yang tak kunjung menjadi nyata. Malam itu, kami hanya ingin bercerita sejujur-jujurnya. Tentang rasa yang pernah kami lalui sebagai seorang manusia biasa.

Lewat cerita, kami saling berbagi pedih. Lewat kata-kata, kami berupaya untuk saling menguatkan.

***

Lalu, tiba-tiba saja kami membicarakan teman dekat yang telah menemukan pasangan. Kemungkinan, tahun depan mereka akan segera menikah. Ah, betapa bahagianya telah menemukan rumah untuk pulang. Menemukan arah yang pasti setelah sekian lama mencari-cari diantara ribuan wajah manusia.

"Semua orang punya waktunya sendiri," ucapku, diiringi anggukan setuju darinya.

"Aku sendiri sudah lelah main-main dalam suatu hubungan. Aku ingin serius dengan seorang laki-laki saja," lanjutku lagi.

"Aku juga merencanakan untuk menikah di usia 27 tahun," sahutnya. Empat tahun dari usianya sekarang. Ah, kalau dipikir-pikir empat tahun bukan waktu yang lama, ya? Sepertiku yang terlihat main-main saat kuliah, tak terasa sudah lebih dari empat tahun saja. Segala sesuatunya bisa terjadi dalam rentang waktu itu, bahkan hal yang diluar prediksi sekalipun.

Aku sendiri tidak pernah menarget akan menikah di usia berapa. Walau sejujurnya, saat aku SD aku pernah merencanakan untuk menikah di usia 22 tahun. Tepat saat aku lulus kuliah. Suatu imajinasi polos saat masih kanak-kanak, menganggap hidup akan dengan mudahnya mengalir dan mulus-mulus saja tanpa hambatan. Betapa naifnya.

Dan usiaku sekarang 22 tahun. Lulus kuliah di usia 22 tahun, syukurlah akan segera terpenuhi. Tapi, soal jodoh?

Jalan masih panjang. Jangan berhenti. Ibarat mendaki gunung, persiapkan bekal yang maksimal agar tidak sengsara di tengah perjalanan dan tidak mati dalam rimbunnya hutan. Puncak akan segera datang, percayalah. Jangan putus asa untuk terus berikhtiar dan senantiasa memperbaiki diri.

Lagipula, pernikahan tidak berhenti saat resepsi saja kan? Setelahnya, justru babak baru yang lebih sulit akan dimulai. Tak hanya soal memahami karakter pasangan yang berbeda ketika masa pacaran dengan saat tinggal satu rumah, tetapi kau juga harus banyak berkompromi, meredam ego pribadi dan mengalah. Keinginan individual menjadi tidak penting lagi, tetapi harus dari kesepakatan kedua belah pihak jika ingin memutuskan sesuatu. Belum lagi, belajar beradaptasi dan mengenal dengan keluarga besar pasangan. Jika kau beruntung, keluarganya akan sangat baik kepadamu. Tetapi jika tidak? Sanggupkah kau bertahan?

Cukup rumit? Bahkan kita belum berbicara soal memiliki dan membesarkan anak. Satu hal yang harus diputuskan dengan sangat hati-hati, karena menyangkut kehidupan baru yang akan kita rawat bersama.

Sejujurnya, ada banyak sekali hal yang perlu dipikirkan sebelum melangkah ke jenjang pernikahan. Namun, jika kau beruntung menemukan pasangan yang mampu memahamimu, pernikahan tidak akan jadi semengerikan itu. Tidak akan ada beban yang berat, karena kalian memanggulnya bersama-sama dan selalu ada untuk satu sama lain. Semoga kita semua dituntun untuk menemukan pasangan yang tepat, di waktu yang tepat. Amin.

***

Surabaya, 16 Desember 2018, 01:28

0 komentar:

Posting Komentar

Think twice before you start typing! ;)

 

Goresan Pena Nena Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template