Di tempat ini, aku menemukan arti dari kata ‘pulang’.
Bumi
tempat kakiku berpijak sekarang tidak berada pada satu lokasi yang sedang kalian
bayangkan: rumah. Tidak pada pagar depan dengan jeruji besi yang mengelilingi
sepetak tanah warisan, tidak pada ubin-ubin putih licin berkilau yang
memantulkan bayangan, tidak pada atap genting, plafon maupun asbes yang
melindungi dari sengat panas dan dingin hujan, tidak pada meja, kursi, sofa, kipas
angin maupun meja setrika, tidak pada rak-rak penuh piring, mangkuk, sendok,
panci, wajan, pisau, kompor dan tabung gas LPG, maupun laci berisi sebakul
nasi, bakwan jagung dan sayur bayam, tidak pada sikat gigi warna-warni yang
berjejer dan air yang menggenang dalam bak mandi berkeramik beserta gayung
plastik yang biasanya mengambang, tidak pula pada kasur kapuk merah muda yang
diselimuti oleh seprai halus bermotif dan bantal guling diatasnya. Tidak ada
satupun dari yang ku sebutkan, yang membuat kakiku tak sabar ingin melangkah
dan merebah.
Kau salah. Rumah tidak digambarkan dalam
wujud materiilnya saja, Tuan, begitu katamu lantang. Kalaupun begitu, wajah-wajah
yang bercokol di dalam tak sedikit pun menimbulkan kerinduan. Dua manusia yang
memiliki hubungan darah denganku. Wajah mereka, laiknya wajah-wajah manusia
lain di halte bus, di loket kereta api, di antrean kasir, di atas eskalator
tempat perbelanjaan dan di atas kendaraan yang melaju kencang di jalanan,
tidaklah beda. Dingin, beku dan kaku. Menatap dan berucap seperlunya. Interaksi
minim yang hadir karena keterpaksaan. Bak orang asing yang dapat kau temui
dengan mudah di mana saja.