Selasa, 05 Juli 2016

Main ke Rumah Guru SMA: Dari Curhat, Gosip hingga Wisata Kuliner

Halo! Akhirnya, selepas UAS Jum’at (1/7) lalu, aku bisa bernapas lega nih. Segala keriuhan mengerjakan tugas hingga lupa mandi dan jarang tidur akhirnya berakhir sudah. Maka, selepas mengumpulkan UAS Penulisan Kreatif, aku langsung ke rumah sobatku, Annisatul, untuk memenuhi janji berkunjung ke rumah wali kelas sekaligus guru bahasa Inggris pas SMA, Mam Lika. 
    “Rumahnya jauh banget sih, Tul.” ucapku dengan perasaan mager (malas gerak) yang teramat sangat. “Macet pula, ya kan? Ga bisa sabtu aja kah? Mana aku masih kumus-kumus banget ini.” keluhku kepadanya saat berada di rumahnya.
     “Halah kamu itu. Aku sudah janji, lho. Jangan jadi pemalas, ah.”

       “Ye, kan kamu yang janji, bukan aku.”
Beneran, rasanya aku capek banget karena gak tidur dua hari selepas mengerjakan tugas video Kombis. Mana gak ada yang bantuin pula ngedit video, eh diomel-omelin ama salah satu anggota kelompokku. Dikira ngedit video dalam satu atau dua jam, bisa jadi? Keterlaluan. Huh. Capek berat. Rasanya pingin pulang dan tidur sampai besok sahur.
       Kami menanti Bagus datang sampai jam 15:30-an. Aku menyapa Bagus, biasalah ngobrol soal berat badan kami berdua haha (sesuatu yang selalu dilakukan, membanding-bandingkan siapa yang lebih gemuk). Lalu, tak butuh waktu lama, kami sudah meluncur pergi.
      “He, brownies Amanda-nya gak ada.” ujar Atul diatas motor, melihat ke sebrang jalan, ke depan Indomaret Kedung Cowek. “Kemana kita?” tanyanya kepadaku, yang masih dalam keadaan menyetir.
     “Ke Majestyk aja. Kapas Krampung!” jawabku.
Lalu kami bertiga meluncur ke Majestyk. Masuk ke dalamnya, hidung kami sudah dimanjakan dengan aroma roti yang sedap. “U-uh, enaknya.” ucapku.


Tak seperti terakhir kali ke Majestyk, kini ragam dan variasi kuenya semakin banyak. Belum apa-apa aku sudah tergoda. Duh, enaknya beli apa ya, buat diriku sendiri? Banana cake looks so yummy, eh tapi donat kayaknya enak. Eh, pudding cokelat di kulkas kayaknya menggoda, belum lagi pastry daging dan cokelat yang terlihat melambai-lambai kepadaku. Duh, bingung, kayaknya enak semua!
Tapi, yang paling penting adalah kita membelikan Mam Lika dulu. Setelah sedikit berdebat, brownies cokelat dengan taburan kacang almond diatasnya terlihat begitu istimewa. Maka, itulah yang kami bawa sebagai oleh-oleh nanti.
Yummy!!!
Oh ya, aku juga ditraktir Bagus nih, hehe. Ceritanya dia abis kerja, dan baru keluar uang gajiannya. Akhirnya dia bermurah hati untuk membelikanku satu roti di Majestyk. Ku pilih yang Pizza dalam wadah aluminium foil, hehe. Ukurannya cukup besar dan harganya (hanya) Rp. 17.000 rupiah. Nge-pizza gak harus mahal, lho. Wih! Thanks ya, Gus. 
Setelah itu, kami langsung berkendara ke rumah Mam Lika. Jam 5 sore baru sampai. Seperti biasa, kami memarkirkan motor diluar gang, lalu berjalan menyusuri lorong sempit untuk tiba di rumah Mam Lika. Belum sempat kami mengetuk pintu, Mam Lika sudah membukakan pintu. Ajaib, wkwk.
“Mam, kita belum ngetuk pintu kok udah dibuka duluan?” tanya Annisatul. Wajah Mam Lika shock saat melihat Atul.  “Padahal, aku datang kesini lho gak ngabarin.” lanjutnya lagi.
“Mungkin karena insting.” jawabku.
“Mungkin karena kamu di lorong sempit tadi berisik, Nen.” sahut Bagus. “Jadi Mam denger.”
Mam Lika cukup heboh dalam menyambut Atul. Ia bertanya kabarnya duluan, kapan sampai di Surabaya, dan lain sebagainya. Sementara aku dan Bagus seolah-olah jadi blur di matanya, hehe. 
Seperti biasa, Mam heboh. Belum-belum ia sudah bertandang ke dapur untuk mengambil aqua dan kolak. Lalu kembali di ruang tamu dan mengobrol dengan kami.
Mam menanyakan bagaimana kabar Atul, lalu memberondongnya dengan rentetan sejarah masa lalu mengapa Atul tega meninggalkannya begitu saja tanpa kabar ke IPDN Jatinangor, Sumedang, juga meninggalkan beberapa anak yang ia beri les privat. Mam Lika juga menambahkan kalau anak yang ia beri les, kini sudah mau masuk SMA/SMK yang mereka inginkan. Suatu kegembiraan bagi pendidik kala mengetahui anak didiknya berhasil, hehe. 
Tak lama, adzan Maghrib tiba. Tanpa basa-basi, kami mengambil kolak dan memakannya, haha, maklum kelaparan. Selepas itu, kami masih mengobrol. Topiknya beragam, tak jauh-jauh dari kehidupan kami dan sekolah SMA kami yang dulu. 
Misalnya, kehidupan Atul di IPDN yang serba keras, penuh dengan latihan fisik tak henti-henti, tetapi meski begitu ia bisa meraih IPK sebesar 4,0! Tai banget kan, wkwk. “Kok bisa?” sahutku dengan iri. “Katamu, kamu jarang belajar?”
     “Iya, gimana mau belajar? Pagi sampai sore kuliah, kadang malam juga ada tambahan kuliah. Selepas makan malam pun kadang ada latihan fisik dari senior-seniorku, dan kadang baru berakhir sampai jam 11 malam. Lalu, harus tidur, dan bangun lagi jam 5 pagi. Begitu terus setiap hari.” curhatnya kepada kami. “Mungkin, aku bisa dapat IPK segitu karena aku selalu memperhatikan dosen saat di kelas, juga gak pernah tidur waktu di kelas. Teman-temanku rata-rata pada tidur di kelas, karena kelelahan kena latihan fisik terus setiap hari.”
     Ia juga menceritakan, akibat IPK-nya itu pula, ia dapat stay di Jatinangor, pusat IPDN, di tahun kedua. Teman-temannya yang lain rata-rata “dibuang” di luar pulau, seperti Sumatera, Kalimantan, hingga Papua. Kata Atul, itu karena perolehan IPK mereka yang kecil. 
     “Kan enak sih, di luar pulau. Aku bisa traveling jauh nanti, ahahaha. Bisa eksplor ke pulau-pulau yang belum pernah ku jamah.” ujarku. 
     “Huh, traveling tok pikiranmu,” kata Atul.
      Aku juga sambat (mengeluh) soal Atul, yakni betapa ia menjadi sangat lemot dan lola akhir-akhir ini. “Kakehan fisik awakmu sampai dadi lola ngene,” ujarku dengan sebal.
      Hal itu terbukti kala Mam Lika bercerita ke Atul bahwa ia sempat dijadikan topik bahasan yang hot di grup Whatsapp guru-guru SMAMSA. Ia sempat dibanding-bandingkan dengan adik kelasku, mengenai “mana lulusan SMAMSA yang lebih baik ditinjau dari pendidikan, attitude dan penampilannya.” 
      Dan Atul sempat gak paham mengapa ia dilibatkan dalam topik diskusi para guru-guru itu, walaupun Mam sudah menjelaskannya berulang kali. “Ih, lemot banget kamu Tul sekarang.” ucap Mam Lika dengan gemas.
     “Yang sabar ya, Mam. Itu juga yang ku alami tiap hari waktu ngobrol dengan Atul.” ucapku dengan mengelus dada.
       Selain itu, Atul juga bercerita mengenai wismanya yang berhantu, hal-hal apa yang dilarang di wismanya, serta bagaimana pengalaman dia saat dikerjai oleh makhluk halus penghuninya. Serem dan seru pada saat yang sama.
       Tak hanya Atul yang diinterogasi, aku juga sedikit bercerita mengenai hidupku. Seperti bagaimana aku magang di Gogirl! Magazine dan bertugas untuk liputan kuliner tiap minggunya, yang dianggap mereka asik (memang iya) hingga ulang tahunku yang akan tiba pada 20 juli nanti. Rencananya, aku hanya akan mengundang beberapa orang terdekatku, dan aku pun sudah berjanji untuk turut serta mengundang Mam Lika nanti.
       Bagus pun juga demikian, ia bercerita mengenai pekerjaannya di bidang pajak, yang telah dijalaninya selama beberapa bulan belakangan. Bagus adalah yang pertama dari kami bertiga yang sudah memiliki penghasilan tetap, dan penghasilan itu akan naik dari tahun ke tahun. “Insya Allah bisa beli rumah beberapa tahun lagi.” ucapnya yakin.
      Dari semua cerita itu, kami semua mengerti kalau ada secercah harapan untuk kehidupan kami ke depannya. Kami bertiga yakin kalau bakal berhasil, dengan segala perjuangan dan kerja keras kami. Semua pengorbanan, darah dan air mata itu akan terbayar, percayalah. 
       Oh ya, sebelum kami pulang, anak yang dikasih les privat oleh Atul datang, dan mereka terlihat sangat senang dengan kehadiran Atul. Setelah ngobrol-ngobrol, hingga jam 18:30-an, kami memutuskan untuk langsung pulang. Sempat ada insiden kecil di motor Bagus, tapi syukurlah semuanya baik-baik saja. 
      Setelahnya, kami menuju ke masjid terdekat untuk beribadah, dan dilanjutkan dengan wisata kuliner. Berbuka puasa dengan makan-makan, yeay!
“Dimana enaknya, Nen?” tanya Atul
“Uhm... Aku lagi pengen makan bebek nih, Tul.” ucapku. “Gimana kalau kita mampir di Nasi Bebek Tugu Pahlawan? Disana katanya enak. Kalau disana tutup, kita pindah ke Nasi Bebek Stasiun Pasar Turi, langganan keluargaku.”
“Boleh.”
Kami menuju kesana dan terlihat ramai sekali. Antri panjang dan semua meja-kursi penuh. Bahkan, yang makan nasi bebek sampai nebeng tempat di warung bakso dan es. “Wih, ramai ya. Gimana?”
Wes, ayo gapapa walau antri.” kata Atul.



Kami memarkirkan sepeda motor, lalu membagi tugas. Aku dan Atul antri, sementara Bagus mencari tempat duduk. “Enaknya yang apa ya? Dada kayaknya enak, tapi jerohan juga enak. Jerohannya murah pula, hanya 11 ribu rupiah.” ucapku.
Daftar harga
Meja sebelah ikutan penuh
“Heh, kamu itu masih muda makan jerohan, jangan!” sahut Atul dengan galak, wkwk.
“Enak lho, makanan favoritku itu.” jawabku dengan cengengesan. 
“Gak, gak boleh.” sahut Atul dengan ketus bagaikan emak-emak yang galak melarang anaknya makan permen. Akhirnya, aku memilih yang bagian dada, seharga Rp. 17.000, Atul dan Bagus memilih bagian dada juga. 
Nasi bebek tugu pahlawan
Setelah antri selama lebih dari 10 menit, kami akhirnya berhasil membawa pulang satu piring penuh berisi nasi, 1 potong dada bebek, beserta bonus leher bebek, lalapan (timun) dan dua macam sambal, yakni yang kering (pedas) dan agak encer (sedikit lebih manis. 
      Walau ada kejadian kami disalip oleh pengunjung di belakang, seorang laki-laki yang tak tahu diri, begitu pula pedagangnya yang mendahulukan orang itu yaitu ibu-ibu gendut dengan alis buatan yang tipis, tapi ya sudahlah, kami anggap saja itu bagian dari melatih kesabaran ^.^
“Mari makan.”
Huehehehe mari makan!
Pertama kali ku coba dagingnya, ternyata tak sesuai yang ku bayangkan. Ku kira dagingnya bakal gurih dan agak asin, tapi ternyata rasanya agak hambar. Dagingnya tak terlalu besar, rasanya tak terlalu gurih. Tapi untunglah, sambalnya menyelamatkan kami. Sambalnya enak, cocok banget bagi pecinta kuliner pedas. 
Jujur saja, aku lebih cocok dengan Nasi Bebek di dekat Stasiun Pasar Turi, langganan keluargaku selama bertahun-tahun. Lebih gurih, lebih asin dan lebih murah. Tapi gak papa, itung-itung sudah pernah mencoba, jadi tahu mana yang harus dijadikan langganan, mana yang harus ditinggalkan, hehe.
Tak lama, sesuai makan, kami langsung pulang ke rumah masing-masing dengan perut kenyang dan hati gembira. 

Credit photo: http://images.fineartamerica.com/images/artworkimages/mediumlarge/1/friends-jumping-against-sunset-kazi-sudipto-photography.jpg 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Think twice before you start typing! ;)