Selasa, 08 November 2016

Touring ke Candi Singosari dan Coban Rondo

            Hi everyone!
            Sebagian mahasiswa melewatkan dua minggu terakhir (24 Okt-4 Nov 2016) untuk mengerjakan UTS. Dan aku termasuk salah satu diantaranya. Ku akui, UTS kemarin nggak maksimal karena hanya belajar di detik-detik terakhir! Konsentrasiku agak terpecah karena harus bagi waktu, tenaga dan pikiran buat akademik (kuliah, tugas-tugas, kelompokan, dll), organisasi (UKM Fotografi, UMC, Indonesian Eagle, dsb), ngurus PKM (program kreatif mahasiswa), ngajar ekskul, ngerjain tugas magang dari Cerita Kita, serta bagaimana cara memperbaiki kondisi finansial agar lebih stabil dan sejahtera.
            Semua itu membuatku stress, banyak pikiran. Kebanyakan tugas malah bikin aku jadi nggak produktif. Alhasil, aku lebih sering wasting time di kamar sembari scrolling sosial media, instead of ngerjain tugas maupun belajar. Aku bukan tipikal orang yang bisa diserahin banyak tugas sekaligus, semakin banyak beban justru membuatku kehilangan fokus. Akhirnya, malah tugas-tugas itu kian menumpuk dan tak tersentuh.
            Lalu, apa yang ku lakukan untuk melepaskan “kegilaan” itu? Sekali lagi, cara termudah adalah dengan escape ke luar kota! Kali ini, aku mengajak salah satu sobat-terbaikku-sepanjang-masa-yang-sudah-mengenalku-luar-dalam yakni Tita Anggraini.

            Sejarahnya kenapa kami bisa touring ke luar kota adalah akibat chat BBM, Jum’at (28/10) lalu. Awalnya sih pengen ketemuan lalu ngobrol gila-gilaan kayak biasa. Disepakati untuk ketemu hari Jum’at (4/11) buat wisata kuliner di deket PERBANAS, atau di cafe-cafe bagus namun terjangkau, buat makan-makan sekalian bitching about everything. Tapi.. kok rasanya terlalu ordinary ya? Gak seru, gak ada tantangannya sama sekali, dan mungkin gak meninggalkan kenangan yang mendalam bagi kami berdua.
            Aku iseng bilang ke Tita. “Yoopo lek mbolang wkwk, motoran yuk, kangen touring
            Tak ku duga, dia menyetujui. “Kuy kuy turing heuheu”
            “Kita ke Malang saja yuxx” ajakku. Malang adalah destinasi wisata yang paling aman, dekat sekaligus punya banyak tempat keren untuk disinggahi.
            “Mari kita mengasapkan knalpot! Yeahh!!” jawabnya.
            “Boncengan ae ben hemat -_-” saranku, mengingat pengiritan bahan bakar minyak (BBM) dilakukan bukan hanya karena BBM itu langka, melainkan juga dalam rangka penghematan uang, haha.
            Lambat laut, mulai disepakati. Berangkat Jum’at depan (4/11), jam 5 pagi, dengan estimasi sampai jam 7 atau 8 pagi. Namun, hari itu aku belum memutuskan akan pergi ke tempat wisata mana, nanti saja browsing. Aku juga menimbang-nimbang karena Sabtu pagi harus ngajar ekskul jurnalistik di SMAMSA. Gak boleh terlalu capek, atau bakal tumbang tentunya.
            Pada hari Senin (31/10), aku menunjukkan ke Tita bakal kemana kita nanti. Karena kami berdua adalah kru penghematan yang paling hemat sejagat raya(?), jadinya destinasi wisatanya nanti juga jangan sampai membunuh kantong kami.
            Kasarannya adalah:
·         30 rb bensin/PP dibagi dua orang jadi urunan 15 rb/orang
·         25 rb biaya tiket masuk ke Selecta
·         10 rb biaya air terjun Coban Rondo, 7,5 rb biaya labirin Coban Rondo
·         5 rb/orang biaya tiket masuk Candi Singosari
·         Free HTM alun-alun Malang
Karena masih kasaran, aku memberikan kebebasan ke Tita buat memilih. Dan anggaran diatas juga belum 100% benar, bisa jadi di lapangan semakin mahal atau justru jadi lebih murah. Kalau aku sendiri, lebih enak ke Candi, Alun-alun dan Coban Rondo. Selecta dihapus karena Tita sudah pernah kesana, wisata yang berbau ‘renang’ juga dihilangkan karena kami berdua payah berurusan dengan air (we’re not an amphibi, right?).
Sebenarnya ada beberapa opsi lain, yakni nge-camp di Coban Rondo, atau jalan-jalan ke Pantai Balekambang di Malang Selatan. Tapi dengan pertimbangan bahwa camping akan berubah menjadi tolol jika hanya ada kami berdua (kami pernah dengan ceroboh membuat kobaran api keluar dari gas kaleng, karena Tita menyetel volume gas di kompor kegedean, hingga membuat momen memasak di alam menjadi sedikit traumatis), jadi agak serem aja kalo cuman camp berdua. Sementara, kalau ke pantai di Malang Selatan pasti makan banyak waktu di perjalanan, hingga kami tak bisa enjoy menikmati wisata, karena dikejar-kejar oleh waktu (plus, capek juga nyetir 6-7 jam ke pantai di Malang Selatan, dan 13-14 jam/PP Surabaya-Malang).
Jadi, keputusan telah diambil bahwa kami akan ke Candi Singosari, Alun-alun Malang (niatnya kesini buat nyantai plus kulineran, kalau ada), dan Air Terjun Coban Rondo. Hitung-hitung biaya, paling sekitaran 50-70 ribu aja, dan kebanyakan bakal habis di ongkos bensin & tiket masuk. Sementara, untuk menyiasati perut, kami paling jago. Yaitu dengan membawa bekal dari rumah, hehe.

H-1 Touring
Kamis, 3 November 2016. 19:00-21:00
Satu hari sebelumnya sudah disepakati kalau touring-nya pakai motor Tita. Kenapa? Pertama, karena kami boncengan, jadi harus milih salah satu motor saja. Kedua, motor Tita kapasitas mesinnya 110 cc, punyaku 100 cc. Motor Tita pun sudah terbukti lebih kencang dari motorku (aku selalu kalah nge-gas). Secara mesin, motorku kalah. Ketiga, akhir-akhir ini motorku saat di gas jadi berat, dan aku gak berani bawa motor “bermasalah” seperti itu keluar kota. Apakah itu karena busi? rantai? mesin? aki? atau malah gara-gara kemarin aku beli 4 Liter Pertamax Turbo oktan 98, dan jenis BBM itu nggak cocok sama mesin motorku? Nggak ngerti deh, apanya yang bermasalah. Yang jelas, insting mengatakan kalau motorku GAK BOLEH dibawa keluar kota. Nanti kalau ngemper di jalan karena rusak, gimana?
            Aslinya pengen sih bawa si kuning NF 100 TD alias Revo 100cc milikku keluar. Tapi, mempertimbangkan faktor keselamatan, kayaknya nggak dulu deh. Kamu harus istirahat dulu ya di rumah, sayang (ngomong sama motor).
            Seperti biasa, H-1 jalan-jalan, aku selalu ngasih briefing buat perjalanan. Waktu kami ke Dlundung buat nge-camp pun aku sempatkan ke rumahnya buat ngasih tau apa-apa saja yang perlu dipersiapkan. Juga, ngasih tau estimasi biaya, waktu dan jalur.
Nah, kali ini giliran Tita yang ke rumahku. Gantian dong, haha.
Selain itu, aku juga gak bisa kemana-mana soalnya ada tugas JMC 2000 kata, dengan transkrip yang belum dikerjain (tolol! terlalu nyantai akhirnya keteteran). Tapi, aku lupakan JMC ketika Tita datang ke rumah. Dan kami mulai bercanda ini-itu, selain mbahas touring tentunya. Yang paling sering disinggung sih soal #Demo4November. Kami menggebu-gebu membahas dari sudut pandang kami, dan saling berspekulasi akan ke mana arah demo ini. Gak usah sensi dulu guys, lagian hak kami juga buat membahas apapun, seperti kalian juga punya hak yang sama, yang penting tidak membuat #provokasi #propaganda dan #cuciotak, right? Hehe.
Oh ya, jadinya buat touring besok, Tita bakal jemput aku ke rumah jam 4.30 pagi. Gimana caranya, jam segitu aku sudah siap-siap untuk berangkat. Dan, gimana caranya, tugasku JMC harus selesai jam segitu! Gak mau tau! Harus sudah selesai!

HARI-H
Jum’at, 4 November 2016
GREAT.
Dari jam 21:30 sampai jam 02:30 aku baru selesai mentranskrip wawancara menjadi tulisan. Semuanya berdurasi 2 jam 40 menit, dan berkembang menjadi transkrip sepanjang 25 lembar (font 12, spasi 1), lalu melar jadi 33 lembar (font 12, spasi 1,5). Lelah juga ya harus mendengarkan obrolan wawancara, lalu di pause, dan diketik di laptop. Begitu seterusnya selama berjam-jam.
ITU BARU TRANSKRIP.
Tugasnya belum.
Lalu, jam 02:30 sampai 04:45, aku menuliskan berita. Ya, agak kacau juga, dan gak mikir soal tulisan ini bagus apa nggak, karena target utama yang harus dipenuhi adalah...menuliskan dengan standar 2000 kata. ITU DULU. Dan finally, menjadi tulisan 8 lembar (font 12, spasi 1,5). Seusai tugas, langsung ku kirim ke email Wulan, dia bantuin buat nge-print dan ngumpulin juga. MAKASIH WULAN! *emot peluk*
Aku segera mematikan laptop, mandi, ganti baju, dan bikin bekal. Disaat tengah merebus Indomie, Tita datang. Ia mengenakan kemeja kotak-kotak dan kerudung merah-keorenan. Aku suruh nunggu dulu, karena masih bikin bekal trus packing seadanya. Yak, bisa dilihat kalau saya orangnya tidak bisa memanajemen waktu dengan baik (alias: amburadul). But, I’ll making sure semua barang yang diperlukan dibawa, terutama kamera dan tripod.
Aku memastikan juga bahwa perjalanan ini tidak mengecewakan.
Kami ngecek Google Maps bareng-bareng (bye-bye kuota) dan melihat arah jalan. Setelah diliat, rupanya kita harus ke lokasi terdekat dulu, dan yang terjauh ditaruh akhir. Alright, rutenya menjadi: Candi Singosari >> Alun-alun Malang >> Coban Rondo
Aku yang jadi driver (sopir) sekaligus navigator perjalanan ini. Padahal, aku belum tidur sama sekali (karena tugas sialan itu), namun mataku tetap terjaga karena efek dari 3 mug teh hijau. I told you, bahwa kafein di teh hijau jauh lebih kuat dari kopi susu dalam jumlah yang sama. Tapi, kalau sama kopi hitam sih jelas kalah.
BUDALLL
      Yasudah, akhirnya dengan Bismillah, kami berangkat. Syukurlah, dapat kucuran dana tambahan 50 ribu dari Ayah (padahal gak minta), lumayan buat bensin & tiket masuk, wkwk. Kami menuju ke kios pompa ban dulu, karena rasanya angin ban WAJIB diisi sebelum perjalanan jauh. Kami mengisi angin ban di daerah Dharmawangsa. Peristiwa menjadi mengerikan ketika aku secara iseng-iseng tanya ke Tita.
“Ban motormu bisa dicek lho, tahun produksinya,”
“Oh ya? Diliat dari mana?”
“Di ban luar ada kode angka. Coba cari,” ucapku.
Iki ta?” Tita melihat ke ban belakangnya. “0313?”
Yup, itu berarti ban luarmu diproduksi bulan Maret tahun 2013”
Tita lalu berjalan ke ban depan. Ia kembali menemukan angka dan terkejut. “Ya ampun, tahun 2009 pek. Tapi, Alhamdulillah gak pernah kenapa-napa.”
“Harusnya sih ban luar diganti tiap 2-3 tahun sekali.”
Mataku menangkap sesuatu yang aneh di ban depan Tita. “Eh Mbeng, iku opo? Paku?”
Wajah Tita memucat. “He, durung opo-opo lho, padahal,” ucapnya dengan nada takut, kecewa bercampur sedih.
Celuken bapak’e gih. Ben dicabut,”
Emoh, kon ae.” ucapnya. Lak endel, batinku.
Wes talah, celuken bapak’e ndang.”
Akhirnya ia memanggil bapak tukang pompa ban. Bapaknya langsung ke depan untuk mengecek, lalu membawa alat untuk mencabut. Wajah kami menjadi ikutan pucat. Kalau dicabut trus bannya jadi bocor, kan gak lucu. Biaya ekstra deh, buat nambal ban dalam. Belum lagi kalau harus diganti.
Cabut paku
5 menit kemudian, paku berhasil dicabut. Rupanya, paku kecil dengan model ulir, yang terlihat masih baru (gak karatan). Siapa yang kurang ajar menebar paku di jalanan ya? Whoever you are, hidupmu gak berkah! Kita berterima kasih ke bapaknya, lalu mencoba menaiki motor Tita. Kami lihat ban depan masih baik-baik saja. Semoga baik-baik saja deh, dari perjalanan berangkat dan pulang.
Wes ta, yakin iki?” tanyaku, pada kami berdua.
Tidak ada keraguan. Perjalanan ini harus dimulai. HARUS. Semoga Tuhan meridhoi setiap inchi yang kami tempuh, sehingga tidak terjadi apa-apa yang membahayakan. Lagipula, kalau perjalanan denganku sudah pasti harus berangkat, karena aku cukup keras kepala dan susah dihalangi kalau urusan jalan-jalan, haha.
Aku menyetir. Masih harus beradaptasi dengan rem depan Tita yang bikin kaget. Jadi, remnya semacam bikin motor langsung berhenti mendadak, membuat tubuh kami terpental ke depan, hingga menimbulkan decitan yang keras. Belum lagi, jalanan yang mulai macet. Jangan lupa kalau ini masih weekday, banyak pekerja dan pelajar yang memenuhi jalanan untuk pergi kerja dan sekolah, sementara kami malah enak-enak berlibur, hehe.
Kami berhenti di Pom Bensin Ngagel (arah Wonokromo) buat isi Petralite 10 ribu, karena masih ada ½ tangki yang terisi bensin. Lalu kami bergerak ke arah selatan, semakin ke selatan. Di daerah perbatasan Surabaya-Sidoarjo macet banget, banyak orang mau berangkat kerja dan sekolah. Jalanan masih macet sampai setelah kecamatan Candi, Sidoarjo. Setelah itu, jalanan mulai sepi.
Di dekat Lumpur Lapindo, Tita berkata, “Nen, ajaken ngomong dong. Ngantuk nih.”
Aku tertawa, lalu memberi headset-ku ke dia. “Nih, kabelnya nyampe nggak? Dengerin musik biar nggak ngantuk” ucapku.
“Tuh, liat ke kanan. Bagus ya,” kataku.
He iyo pek.” jawab Tita.
Siluet kokoh gunung Penanggungan di depan, dan gunung Arjuno-Welirang di belakang memberikan efek magis. Keduanya terlihat sangat tinggi... dan tak terjamah. Padahal, aku juga sudah pernah sih ke gunung-gunung itu, hanya saja jika melihat gunung itu dari bawah... rasanya berbeda. Seolah kita, manusia-manusia penghuni kota, tidak ada apa-apanya di hadapan Tuhan.
“Seseorang pernah berkata bahwa Penanggungan adalah miniatur dari Mahameru,”
“Kok bisa?” tanya Tita.
“Karena puncaknya yang terlihat tandus dan gundul. Bentuknya pun mirip,” kataku. “Kamu tau, kalau dari bawah rasanya mustahil ya puncak setinggi itu bisa digapai dengan 2 hari berjalan.”
Mosok seh cuma dua hari?” tanya Tita.
“Iya,”
Sampai di daerah Gempol, Pasuruan, jalanan mulai dipenuhi dengan truk dan bis. Kendaraan besar-besar yang serem. Dan selalu menghembuskan asap hitam pekat hasil pembakaran Solar. Namun, gambaran Gunung Penanggungan dan Gunung Arjuno-Welirang semakin nampak jelas. Terlihat gurat-gurat curam, warna yang kehijauan yang mengagumkan, mahakarya pahat sempurna yang hanya bisa diukir oleh Tuhan.
Kami terus melaju.
Motor mulai meninggalkan Pandaan, Pasuruan. Aku mulai was-was.
“Dulu, pas Januari 2015, aku pernah ketilang di Pasuruan. Di deket masjid gede, pinggir jalan. Kebetulan, tak jauh dari masjid ada pos polisi,” ceritaku pada Tita. “Polisi itu melambai-lambaikan bendera putih. Dari jauh, ku pikir mau ada orang nyebrang jalan. Eh, nggak taunya, aku diberhentikan. Tanpa basa-basi, tak menyebutkan kesalahan kami apa, polisi itu minta surat-surat lengkap (SIM + STNK)”
“Terus?”
“Waktu itu, aku belum punya SIM. Jadi, sudah bisa ditebak. Digiring ke pos polisi dan dikasih surat tilang. Suruh ngurus ke Pengadilan Negeri Pasuruan,” lanjutku. “Cukup aneh karena yang diberhentikan cuma orang dari luar kota. Apa karena aku pakai plat L? Padahal waktu itu ada ibu-ibu yang dibonceng gak pake helm (plat N) tapi gak diberhentikan,”
Seketika flashback ke masa lalu.
“Makanya, aku agak trauma lewat sini. Ya kali, sidang di luar kota,” rutukku.
Tapi, begitu kami melewati jalanan yang ku maksud, ternyata sepi. Alhamdulillah.
Ndi, gaonok ngono. Jangan-jangan waktu itu kamu lagi apes aja,” kata Tita.
“Iya mungkin.”
Motor terus melaju. Saat lagi jalan di jembatan, sesudah Bakpao Telo, aku berkata, “Kon mambu mesin hangus, nggak?”
Wes ket mau cak mambu hangus.”
“Kepanasan mungkin. Berhenti, ta?”
“Menurutmu?”
“Tapi ini sudah dekat. Sekarang aja udah Lawang. Habis ini pasti Singosari,” ujarku.
“Yaudah, nggak usah kalau gitu,” kata Tita.
Tapi, pas motor sudah memasuki wilayah Singosari, aku berinisiatif untuk nyari Alfamart/Indomart pinggir jalan. Mendinginkan mesin, sekaligus istirahat sejenak. Sambil sarapan mungkin? Atau sambil ngecek lokasi di Google Maps?
Alfamart yang kami tuju berhadapan pas dengan KODIM (tempat militer dan sejenisnya). Aku langsung memberhentikan motor dan memarkirnya. Aku langsung membuka hp, ngecek Google Maps buat nyari arah menuju candi. Tiba-tiba, ada seseorang menarik bajuku dari belakang.
“Nak, bantuin Mbah, nak,”
Aku menoleh dan mendapati nenek-nenek berusia diatas 70 tahunan, mengiba kepadaku. Sorot wajahnya membingungkan, entah separuh tersenyum, separuh memelas. Ia menyodorkan uang 10 ribu kepadaku. Aku kaget.
Tukokno Mbah panganan, Nak. Luwe,” ucapnya.
Mana ada warung di sekitar sini? batinku. Aku menoleh kanan-kiri dan bilang ke neneknya, “Nggak ada warung, Mbah. Saya bukan orang sini,”
Tapi nenek itu sangat keras kepala. Ia tetap menarik-narik bajuku dan memohon pertolonganku. Padahal, di sekelilingku ada banyak orang-orang yang lagi duduk santai di depan Alfamart. Mengapa ia bersikeras meminta bantuanku? Apa ada sesuatu denganku yang terlihat berbeda dari orang lain? Kenapa nggak ke orang lain, ya? Aku agak heran.
Tita hanya sesekali melihat pemandangan ini dengan tatapan dingin.
Karena tak ingin ambil pusing, aku berkata pada neneknya. “Mbah doyan mie? Saya ada mie bungkus, samean ambil aja.”
Nenek itu hanya mengangguk.
Aku langsung membuka tas dan mengeluarkan bekalku. Agak ragu, aku kasih sekalian sendoknya atau nggak, ya? Nanti Mama ngomel. Tapi, aku yakinkan diri bahwa lain waktu akan membelikan satu lusin sendok baru buat Mama. Biar sendok yang ini dipakai nenek buat makan.
Nenek itu lalu menunjuk ke lantai depan sepeda motorku. “Lungguh, Nak.” ucapnya, seraya mengisyaratkan kalau ia ingin makan disana. Aku menghembuskan napas panjang dan memindah motorku ke tempat lain. Nenek itu langsung duduk di lantai, dekat kardus-kardus yang ditumpuk.
Saat aku menoleh, Tita sudah menghilang. Dia malah liat-liat jajanan di dalam Alfa. Lalu, aku masuk ke Alfa dan menemui Tita. “Yoopo, Mbah’e?”
Wes mari, tak kei ae bekal makanku,” ucapku, sembari meliat-liat jajanan di Alfa.
Kami kemudian bingung memilih jajanan. Mana ya, yang enak, mengenyangkan sekaligus murah? Aku lagi males makan makanan yang ada MSG-nya, kayak jajanan gurih gitu. Jadi, aku nyari biskuit. Lebih mengenyangkan juga. Hmm, btw es krim Magnum boleh juga. Yang limited edition terlihat menggoda iman.
Duh, pasti enak makan Magnum, pikirku.
Jangan! Jangan! Eman duit! teriak sisi lain dari diriku.
OK, gak jadi beli -_-
Ada promo beli 2 Oreo seharga Rp. 10.000. Tanpa pikir panjang, aku membeli Oreo rasa Coconut dan Stroberi. Iseng aja sih, pilih rasa yang gak mainstream, haha. Sementara Tita memilih pilus Garuda berukuran besar. “Pancet ae senengane ciki-cikian,” ledekku.
“Lho, enak ini,” sanggahnya.
“Iya, tapi serik di tenggorokan. Efek khas setelah makan jajanan ber-MSG,”
Gaopolah, pilus kan teman setia makan makanan apapun. Pake nasi, bisa. Pake mie, bisa.” ucapnya, sembari kami berjalan menuju kasir untuk membayar.
Alfamart Lawang
Setelah membayar, kami langsung keluar Alfa. Kami duduk disana sebentar, lalu pergi ke Candi Singosari. Aku dari tadi membuka Google Maps mesti gak bisa menunjukkan arah jalan. Dari “LOKASI ANDA” ke tempat tujuan, gak pernah bisa. Akhirnya, aku hapalkan petanya secara manual. “Lurus terus, jalannya bernama Jl. Kartanegara, ada di sisi kiri jalan, jadi harus nyari puterbalikan.”
Kami mulai berkendara. Di lampu merah Singosari, ada mas-mas menyodorkan stiker Aremania. “Mbak ini Mbak, sumbangan seikhlasnya,”
Aku menerima stiker itu, “Oh ya terima kasih, Mas,”
Tapi, Masnya masih mengulang kata yang sama. Ia tersenyum-senyum, sambil jemarinya menuding ke stiker itu. Sampai aku akhirnya tersadar. Aduh, bodoh! Aku kira stiker ini dibagi gratis, rupanya dijual dengan kedok “SUMBANGAN”. Kenapa aku nggak peka, ya?
Akhirnya, berhubung lampu sudah jadi ijo, aku mengembalikan stiker itu ke masnya. “Goblok kon cak. Iku mau njaluk sumbangan,” kata Tita kepadaku.
He iyo pek aku nggak peka. Tak pikir gratis. Salahe de’e nggak to the point se, kalau misal dia niatnya jualan stiker.” jawabku.
Kami berkendara, lalu mencari putarbalikan dan memasuki jalan Kartanegara. Candi oh candi, dimanakah dirimu? tanyaku, sembari menoleh ke kanan dan kiri.  Tak lama, kami menemukannya, namun kondisi candi waktu itu (jam 9 pagi) masih sangat sepi. Hanya ada satu pengunjung dewasa dengan dua anak usia SD.
Candi Singosari
Anehnya, kami tak menemukan tempat parkir motor. Tidak ada petugas parkirnya juga. Harusnya sih ada, kayak di Candi Jawi. Apa mungkin karena ini weekday, atau karena sepi? Tak berpikir lama, aku menaikkan sepeda motor Tita ke atas trotoar, di dekat warung. Ada semacam tempat kosong. Untuk sementara, taruh situ aja. Tidak disarankan ya bagi kalian mencoba hal yang sama.
Setelah menaruh motor & helm, kami bergegas masuk ke dalam area candi. Absen dulu di buku tamu candi. Ada petugasnya bapak-bapak tua, dan aku tanya, “Bayar kah, Pak?”
“Lho terserah sampeyan, Nak. Seikhlasnya.”
Aku merogoh saku dan memberikan uang ke bapaknya, lalu berjalan mengelilingi candi. Kami duduk di bawah pohon, niatnya bersantai dulu sebelum foto-foto. Juga membersihkan wajah yang kotor akibat terkena polusi. Tita mencuci muka dulu di kamar mandi, sementara aku memilih membersihkan muka dengan tisu.
Ngapain mbak?
Candid -____-
Pas aku menaburkan bedak ke wajah, aku iseng bilang, “He raiku mirip arek cilik sing diwedaki mbeluk karo emak’e...
Lihat bocah sebelah kanan wkwk
Tita langsung ngakak gak berhenti-berhenti, “Koyok meme lho, sing mirip donat gopek-an,
Aku menatap kaca dan melihat wajahku. Parah banget, njir. Kulitku kering di beberapa sisi sampai terlihat mengelupas, sementara di sisi lain amat berminyak, dan pori-porinya terbuka lebar. Aku sebenarnya nggak masalah kalo punya kulit gelap. Kulit gelap malah cantik kalau mulus. Yang jadi masalah adalah kalau kulit nggak sehat kayak gini. Perawatan wajah macam apa yang harus ku lakukan?
Eh ada turis mancanegara
Langsung ku bersihkan wajah dengan milk cleanser lemon dari Viva. Langsung, dalam sekejap minyak-minyak di wajah hilang, dan keliatan lebih seger. Okedeh. Kami ngobrol-ngobrol sejenak sampai melihat rombongan turis datang. Bukan sekedar turis, tapi turis lanjut usia dari ras kaukasia, turun dari bis berwarna oren. Mereka berkumpul di depan candi, mendengarkan penjelasan dari tour guide-nya, lalu berbicara dalam bahasa asing.
“Kira-kira mereka berasal dari negara mana ya?” tanyaku pada Tita.
Segera setelah aku beres membersihkan wajah, langsung kami berjalan ke sisi belakang candi. Aku menaruh tripodku di rerumputan dan menyeting kamera. Karena sungkan, aku melepas sandalku saat berjalan di atas rumput. “Kayak di musholla aja, ngelepas sandal.”
Banyak tingkah
"Lho, tiwas kita tadi loncat, ternyata baru njepret."
Lalu, kami berfoto-foto, pakai timer 10 detik. Sempat beberapa kali pose lompat, tapi gagal terus. Sebuah ide berpendaran di kepalaku. “Eh, bikin vlog, yuk!”
Akhirnya, aku menekan tombol “RECORD” di kamera dan mulai nyerocos sana-sini. Mulai dari perjalanannya, lokasinya dimana, dan lain-lain. Tita juga ikutan ngomong di vlog. Vlog-nya menyusul ya, gengs! Nonton ya nanti kalau sudah jadi :)
Setelah puas bikin vlog, aku mengambil beberapa foto candi. Lalu, kami merasa sangat kelelahan dan kehausan. Matahari mulai terik. Kami berjalan untuk mencari es. Ada penjual es degan, es jus, es buah, dan lain-lain. Tapi, lagi nggak pengen es yang berat-berat. Jadinya kami jalan ke warung buat nyari es teh. Harganya 3000, udah cukup buat menyegarkan tenggorokan kami.
Hi everyone!
Gaya apaseh -____-
Kami kembali lagi ke candi buat foto-foto di bagian depan candi. Lalu kami dihampiri oleh bapak-bapak petugas candi, beliau bilang kalau candi mau ditutup sebentar karena mau Jum’atan. Okedeh, kami langsung bergegas pergi dan mengambil motor. Lalu membaca peta sejenak di Google Maps. Mencari arah menuju Coban Rondo.
Kami berkendara di jalanan lurus, lalu belok kanan dan bertemu dengan Alun-Alun Malang. Wah, rame rupanya disana. Bukan rame oleh pengunjung, tapi rame oleh laki-laki menggunakan gamis putih dan peci. Aku penasaran, apakah ini karena mau shalat Jum’at, atau mau ikut aksi demo, mengingat hari ini tanggal 4 November dan diadakan aksi demo serentak di beberapa kota di Indonesia? Apakah Malang termasuk? Entahlah.
Kami mengikuti jalan. Sempet kebablasan, namun akhirnya puterbalik dengan cara menuntun motor, dan kembali ke jalan yang benar. Tiap beberapa menit sekali, aku memberhentikan motor dan mengecek Google Maps.
Di sepanjang jalan, kami bertemu beberapa hal menarik. Aku dan Tita mulai kagum dengan Kota Malang. Disini ada banyak mall rupanya, namun mall disini bangunannya tak setinggi mall di Surabaya. Hanya 3-5 lantai saja.
Kami juga bertemu beberapa Universitas, seperti UNMUH Pascasarjana, Universitas Brawijaya, UNMUH Kampus Utama (yang ada UMM DOME, aku pernah kesana pas SMA), ada Universitas Islam Negeri (UIN) yang bangunannya bagus banget, kombinasi warnanya antara putih dan hijau muda lembut. Kami merasa kagum dengan Universitas Brawijaya yang luasss, dan punya gedung tinggi-tinggi. “Aku merasa UNAIR nggak ada apa-apanya,”
“UNAIR aja nggak ada apa-apanya, gimana PERBANAS?” sahut Tita dengan nada sedih, mengingat kampusnya sendiri.
“UB ini legenda dalam PKM lho. Juara bertahan PKM,” kataku.
Kami terus berbicara sembari berkendara lurus. Sampai di daerah Tlogomas, hujan mulai jatuh. Rintik-rintiknya menyadarkan kami bahwa kami harus berhenti dan memasang jas hujan. Tita memasang jas hujannya, sementara aku menghapal peta, karena waktu hujan nggak mungkin aku berhenti untuk mengecek Google Maps.
Jas hujan terpasang, kami mulai berkendara lagi. Bener kan, langsung hujan deres. Tapi, hujan deresnya nggak lama kok, nggak sampe 5 menit. Sampai akhirnya kami memasuki kota Batu. Lurus terus, kami bertemu dengan Alun-Alun Batu dengan bianglala-nya yang khas. Di sekitar Alun-Alun Batu, kami melepas jas hujan, lalu berkendara lagi.
Secara tak sengaja, aku mengecek indikator tangki dan kaget melihat bensin berada di indikator ‘E’ atau Empty. “Lho barusan tadi ada pom bensin, puter balik ta?” tanyaku.
Hura Nen. Kalau masuk alas (hutan) nanti gak mungkin nemu penjual bensin.” ucapnya.
Paralayang
Taken by: Tita
Untungnya, beberapa ratus meter kemudian, kami menemukan SPBU di sisi kanan jalan. Aku isi Petralite sebanyak 20 ribu, rasanya cukup hingga pulang nanti. Oh ya, ternyata itu SPBU terakhir sebelum menuju ke Coban Rondo. And guess what? Lokasi kita ternyata dekat dengan Paralayang yang fenomenal itu!
This is my bestie 
Jodoh saya dimana ya?
Anak touring 
Kami berhenti untuk memarkirkan motor, lalu berfoto-foto. Aku sudah merencanakan untuk berfoto dengan motor, untuk menegaskan bahwa kami kesini naik motor yang dikemudikan sendiri. A simple way to proof that we are strong enough for doing our own trip.
Setelah beberapa jepretan, kami mulai melaju lagi. Jalanan menjadi seram! Kanan adalah jurang, tanpa pagar pembatas, sementara sisi kiri adalah tebing yang curam. Sewaktu-waktu bisa runtuh dan longsor, melihat betapa dekatnya tebing itu dengan jalan raya. Jalannya pun agak menanjak, berkelok-kelok, dipenuhi dengan truk-truk, bis, mobil dan kendaraan yang melaju kencang. Tak ada lampu, jadi bayangkan betapa seramnya jalanan ini kalau malam.
Tapi, jalanan itu tak lama kok. Hanya 10-20 menitan mungkin. Setelah itu kita disambut dengan pintu gerbang bertuliskan “Selamat Datang di Coban Rondo” dan ada patung sapi perahnya di depan. Jalanan kian naik, semakin banyak gronjalan atau jalanan rusak. Di kanan kiri ada rumah penduduk. Tak lama kemudian, kami sampai di pintu gerbang menuju Coban Rondo.
Karcis masuk
Karcis parkir
Sumbangan PMI
Tanpa basa-basi, bapak penjaga tiket Coban Rondo bilang, “36 ribu untuk 2 orang, sudah termasuk karcis parkir, nanti karcisnya tunjukin aja sama orang di dalam. Untuk menuju Air Terjun, berjarak 2,5 kilometer dari gerbang tiket masuk Coban Rondo.” kata bapaknya.
Parkiran
Lalu, kami mulai masuk. Suasananya amat sepi seolah-olah hanya kami seorang disana. Kanan-kiri sudah hutan. Jarang ada orang. Lalu, kami melewati labirin dan area perkemahan. Terus berjalan, sekitar 10 menitan, kami akhirnya sampai di suatu tempat luas, dimana ada parkiran, ada pusat oleh-oleh, dan kantin. Kami langsung parkir, dan menuju ke meja-meja yang kosong untuk makan siang. Tita membuka bekalnya yang berisi nasi dan ikan mujaer, sementara aku menghabiskan oreo-ku. Makan siang dulu lah, sembari ngobrol-ngobrol sejenak.
Setelah itu, kami berjalan kaki menuju Air Terjun Coban Rondo. Di sebelah kiri jalan ada tangga kayu yang menuju ke arah wahana permainan Flying Fox. Ada pula wahana paintball (eh atau airsoft gun?). Kami terus berjalan, sembari aku menyalakan video untuk membuat vlog. Suasana cukup sepi, hanya ada beberapa orang pengunjung lain.
Oh ya, disini juga banyak monyet lho, jadinya kalian harus ekstra hati-hati dalam membawa barang bawaan. Kalau lengah, bisa-bisa barang kalian dirampas ama monyetnya. Kalau kesini juga sebisanya kasih makanan ke monyet, entah bawain buah-buahan, kacang dan lain-lain dari rumah. Kasihan, mereka terlihat lapar, haha. Monyetnya juga akan otomatis mendekati pengunjung yang membawa makanan, jadi harus tetep waspada.
So pretty :)
Tak lama, kami sampai. Subhanallah, begitu indah. Air terjunnya meluncur dari atas tebing setinggi puluhan meter. Debit airnya gak terlalu deras, padahal ini masuk musim penghujan lho. Lalu, di tebingnya juga ada lumut-lumut, tanaman dan pepohonan yang tumbuh, jadi makin indah saja.
Bagus kan hehe
Kami langsung foto-foto. Awalnya Tita duluan, beberapa jepret, tapi begitu kami dihampiri monyet, kami langsung kabur. Takut barang dirampas mereka, haha. Akhirnya, aku memberikan sisa-sisa biskuit oreo-ku ke monyetnya, dan langsung kabur ke tempat yang aman, wkwk.
Adem ya :)
Jadi gak pengen pulang :(
Becoz petingkrangan is lyfe
Bertapa mencari jodoh... 
Meluk diri sendiri karena gak punya pacar :)
Di belakang rame lho :)
Our friendship story
Kami juga menjelajahi sungai, memasukkan kaki ke dalam air. Brrr... Dingin banget. Seger. Bikin pikiran juga ikut adem seketika. Tak hanya berfoto, aku juga bikin vlog yang menjelaskan kondisi Coban Rondo ini. Tak begitu lama, kami hanya 2 jam disana. Mulai dari jam 13:30 hingga 15:30. Tapi rasanya puas, walaupun dalam hati sebenernya pingin main air dan merasakan kucuran air terjun langsung ke tubuh ini. Dan juga pengen banget main-main dan berfoto di labirin Coban Rondo yang legendaris ini.
Sebelum kami pulang, kami bikin vlog lagi, yang berdurasi 3 menit lebih, lalu berjalan menuju parkiran. Kami lalu berkendara lagi, siap untuk pulang ke rumah. Sekitar setengah jam kemudian, kami sampai di daerah Alun-Alun Batu, dan merencanakan untuk mencari makan. Bakwan terdengar sangat enak, maka kami putuskan mencari warung bakwan. Sayangnya, warung bakwan yang kami kunjungi ramai, semua meja dan kursi dipenuhi orang. Alhasil, kami harus menunggu selama 5 menitan, ngobrol-ngobrol dulu, sebelum kami mendapatkan tempat duduk disana.
Wenakkkk
Yumm!!
Menaruh tas, lalu memesan. Aku, seperti biasa, memilih tahu, gorengan dan siomay saja, tanpa pentol, karena kita tau sendiri harga jual pentol lebih mahal dibanding hidangan pendamping lainnya, haha. Aku habis Rp. 11.000 dan Tita Rp. 13.000. Dan, rasanya enak banget! Ga rugi deh, makan disini.
Setelah makan, kami duduk-duduk sebentar di depan warung, lalu cerita-cerita sejenak. Berdebat, enaknya kita ke Alun-Alun Batu atau nggak? Padahal deket banget, tinggal 5 menit jalan kaki! Tapi, berhubung suasana hujan dan hari semakin gelap (sudah mau jam 5 sore), akhirnya keputusan untuk main-main ke Alun-Alun Batu batal. Lain kali aja, kalo ada kesempatan lagi.
Waktunya pulang! 
Kami memasang jas hujan, lalu bergerak pulang. Lagi-lagi, aku yang menyetir, huff. Di tengah jalan, mendadak macet. Ada apa? OLALA. Rupanya ada KONVOI! Dan gak main-main, KONVOI LAMBORGHINI dari Jakarta! Ada puluhan Lamborgini dengan berbagai warna (tapi modelnya sama semua, satu tipe mungkin). Berisik banget deh, dengan mesin yang meraung-raung seolah minta diperhatikan. Like, who the hell are you?
Setelahnya, kami lewati kembali Universitas Brawijaya. Kalau malam bagus banget, gazebonya dihiasi lampu-lampu jingga sehingga suasananya jadi temaram dan romantis. “Kayak di hotel ya,” kata Tita.
“Iya, bagus banget pek. Pindah kampus yuk?”
“AAAA... Nggak! Eman UKT!” ucapnya, sebal mengingat UKT-nya di PERBANAS gede banget. 3 kali lipat dari UKT-ku, hihihi.
Namun, malam-malam selepas magrib, di jalanan utama Surabaya-Malang, MACET PARAH. Kita cuman bisa nyetir pelan-pelan, saking padatnya volume kendaraan. Apa di Malang memang begini ya, tiap malem? Untungnya, sesampainya di daerah Singosari, jalanan menjadi normal. Mulai deh, nyetir kencang, biar nanti gak kemaleman.
Sampai di depan gerai MALANG STRUDEL, Lawang, Tita menawarkan untuk gantian nyetir. Aku dibonceng dia. Oke deh. Namun, apesnya, setelah Tita yang nyetir, eh malah hujan deras banget! Dan hujannya baru berhenti ketika kita sampai di perbatasan Malang-Pasuruan. Jalanan mulai lengang, hujan pun berhenti, Tita memacu motornya kencang-kencang. Sementara aku dibelakang bernyanyi-nyanyi, haha.
Di Sidoarjo, deket dengan pom bensin ALOHA, Tita tiba-tiba memelankan laju kendaraan dan mbrasak-mbrasak sampai batas. Ngapain anak ini?? Rupanya, dia ngantuk. “Nggak kuat aku Nen, ngantuk. Timbang nabrak,” ucapnya dengan bola mata yang merah.
“Apa kabar aku sing gak turu sedinoan gara-gara tugas wingi, hehe.” ujarku. “Yowes kene, kon nang mburi turu. Ben pas ndek omahku kon duwe energi gae nyetir sampe omahmu,”
Akhirnya, Tita tertidur di belakang, sembari memeluk tas dan tripodku. Sekitar jam 20:30, akhirnya sampai di rumahku. “Yakin ta kon isok nyetir sampe omahmu?”
“Iyo wes. Aku tak langsung moleh ben isok segera berjumpa dengan kasur,” katanya.
Padahal aku hendak menawarkan nginep dirumahku, tapi ya sudahlah. Haha.

RINGKASAN
Waktu:            05:40 (dari Kenjeran, Surabaya) – 08:20 (Alfamart Lawang)
09:00 – 10:44 (bersenang-senang di Candi Singosari)
10:45 – 13:25 (perjalanan dari Candi Singosari sampai Coban Rondo)
13:25 – 15:30 (bersenang-senang di Coban Rondo)
15:30 – 16:00 (perjalanan dari Coban Rondo menuju Alun-Alun Batu)
16:00 – 17:00 (makan bakwan di dekat Alun-Alun Batu + persiapan pulang)
17:00 – 20:30 (perjalanan dari Alun-alun Batu ke Kenjeran, Surabaya)

Biaya:              30.000 bensin Petralite (PP)
10.000 beli Oreo 2 bungkus
2.000 uang sumbangan seikhlasnya biaya perawatan Candi
6.000 beli 2 es teh (dibayari Tita)
36.000 biaya masuk Coban Rondo (2 orang) + parkir motor
11.000 bakwan (aku) 13.000 (Tita)
2.000 parkir bakwan (dibayari Tita)



3 komentar:

  1. digeboy geboy mujaerrr.. nang ning nung nang ning nung

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mbaknya penggemar ayu ting ting ya? Maaf kita nggak selevel. HAHAHAHAH.

      Hapus

Think twice before you start typing! ;)

 

Goresan Pena Nena Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template