Sabtu, 09 April 2016

I Don't Want to be Typical Woman

Di dunia ini banyak sekali hal yang dikonstruksikan secara sosial. Dalam arti, sesuatu dibentuk dan dibangun, bukan melihat secara dalam-dalam atau nyata pada realita tersebut. Suatu realita bisa menjadi tipikal yang sejenis dan tak memiliki banyak karakter. Dan kecenderungannya, realita itu menjadi semu dan tak menyentuh urat akar dari realita-realita lain yang ada di luar kriteria dan standar masyarakat pada umumnya. 
     Saya akan berbicara mengenai tipikal. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online, tipikal (ti-pi-kal) memiliki arti khas. Kekhasan. Apa yang menjadi ciri umum dari sesuatu. Apa yang membuat hal X menjadi pembeda dari Y. Selain diartikan sebagai kekhasan, tipikal juga dapat dimaknai sebagai ciri-ciri, bahkan stereotype. Saking khasnya dan mencoloknya ciri itu, sampai dimaknai mendalam sebagai “ciri tunggal” yang akan menjadi sebuah stereotype. Jika sudah menjadi stereotype, maka akan susah sekali memandang hal tersebut dengan objektif. 

     Tipikal paling mencolok, terasa dan bahkan mendiskriminasi adalah tipikal yang dilihat masyarakat dari perempuan. Apalagi dalam era cyber seperti sekarang, pemahaman internal individu mengenai perempuan bisa menjadi pemahaman yang sama dengan banyak orang. Sebagai contoh, bila individu A adalah laki-laki yang memiliki sejarah hubungan asmara yang buruk, seperti diputuskan oleh pacar wanitanya. Ia akan menjadi tidak logis apabila membuat statement seperti: “Semua wanita sama saja! Matre!” lalu disebarkan ke jejaring sosialnya. Orang-orang lain yang memiliki field of experience sejenis akan turut mengaminkan statement tersebut. Terjadilah pengeneralisasian yang tidak logis karena didasari dari pengalaman subjektif individu dengan menyimpulkan hal yang tak dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya.
     Tipikal-tipikal itu dapat muncul secara serius maupun dalam jokes sehari-hari. Seperti, perempuan itu lemah, cengeng dan harus dilindungi. Saya akan berbicara mengenai ketiga hal itu terlebih dahulu. Lemah: bagaimana bisa masyarakat (pada umumnya) memandang perempuan lemah? Dari segi fisik, yang dibilang “tidak sekuat laki-laki”. Dalam susunan kerangka manusia, perempuan memang rata-rata memiliki kerangka yang lebih kecil dan pendek dibandingkan dengan laki-laki. DNA/aspek genetis banyak berperan,  yang membuat ukuran kerangka dan tubuh perempuan menjadi a bit smaller dari laki-laki. Tapi, ukuran kerangka dan anatomi manusia tidak serta merta membuat perempuan lebih lemah dari laki-laki. Kita clear-kan kata ‘lemah’ disini sebagai kekuatan untuk melakukan hal-hal fisik. Kita bahas dari fisik dahulu. Yang membuat strength dan endurance bagus adalah exercise/latihan fisik rutin. Kebiasaan untuk melatih fisik kita, bukan dari jenis kelamin manapun. Kita bisa menjumpai itu dengan membandingkan atlet dan non atlet, dimana para atlet, apapun jenis kelaminnya, rata-rata lebih kuat secara fisik dibandingkan dengan non atlet.
     Masyarakat juga kerap memandang perempuan lemah secara fisik dan tidak dapat diandalkan dalam kegiatan yang berbau fisik. Hal itu dapat dijelaskan karena: 1) perempuan tersebut tidak terbiasa melakukan kegiatan fisik, 2) karena ada pembatasan atau tekanan dari masyarakat bila perempuan melakukan kegiatan fisik, 3) karena perempuan terkadang mempersepsi diri sendiri bahwa mereka lemah dalam kegiatan fisik. Tiga hal ini adalah jawabannya, dari aspek kebiasaan/rutinitas kegiatan, pembatasan atau tekanan dari masyarakat (kayak kebanyakan kasusnya adalah pembatasan perempuan untuk melakukan kegiatan sepele seperti angkat-angkat barang, maupun yang berat seperti larangan perempuan (biasanya dari keluarga) untuk berkegiatan fisik yang berat such as being kuli, atau jadi atlet panjat tebing misal) hingga hegemoni yang begitu kuat dari masyarakat hingga membuat perempuan rata-rata mempersepsi diri mereka kalau mereka lemah dan tidak sanggup melakukan kegiatan fisik tertentu. Hal ini bukan sepele, karena akan membuat perempuan ‘bergantung’ pada laki-laki untuk menangani hal-hal yang berbau fisik (seperti ganti genteng bocor atau sejenisnya). Dan kebergantungan itulah yang membuat perempuan dipandang makin lemah dan tidak bisa apa-apa tanpa laki-laki. 
     Dari segi emosi, perempuan dikatakan lemah pula. Dalam segi ini, ada penjelasan ilmiah dari aspek psikologi. Yang saya ketahui adalah ada bagian tertentu di otak perempuan yang menyebabkan perempuan menjadi lebih emosional dari laki-laki, dan ada pula bagian tertentu dari otak laki-laki yang menahan laki-laki untuk menjadi emosional/kurang emosional. Emosional disini diartikan sebagai perasaan-perasaan dari manusia, dan derajat emosi dapat dibagi menjadi dua oposisi biner: cenderung mampu untuk memperlihatkan/mengungkapkan perasaan atau cenderung mampu untuk menahan perasaan. Emosional tidak berasosiasi langsung dengan temper, yang sering kali kita salah pahami sebagai emosional= tempramental.
     Oleh karena lebih emosional (lebih mampu mengungkapkan perasaan), maka perempuan seringkali dianggap cengeng. Cengeng bisa berarti positif seperti mudah tersentuh hatinya, atau negatif seperti merengek-rengek, kekanakan dan sebagainya. Namun, seringkali kita jumpai orang mencap perempuan cengeng dari oposisi biner yang negatif daripada yang positif. Pengungkapan kata ‘cengeng’ untuk perempuan dapat dimaknai sebagai ejekan pada gender perempuan secara keseluruhan.
      Pertanyaannya adalah: mengapa emosional dalam diri perempuan menjadikannya dianggap lebih lemah dari laki-laki? Apakah persoalan menahan perasaan agar tidak terlihat emosional adalah persoalan kekuatan? Kekuatan bisa berasosiasi dengan maskulinitas, dan maskulinitas adalah ciri khas dari laki-laki. Apakah dengan menjadi emosional dipandang kurang rasional? Atau emosional dianggap kekanakan dan tidak pantas dipertunjukkan, kecuali pada perempuan?
      Sementara yang terakhir, harus dilindungi. DILINDUNGI. Apa perempuan terlihat seperti hal yang rapuh, mudah retak dan pecah? Tidak selalu. Lagi-lagi, tingkat kerapuhan perempuan didasari dari aspek psikologis mereka masing-masing. Bagi sebagian orang, dilindungi memang enak, karena seringkali mereka mendapat keuntungan dari perlindungan itu. Namun, apa jadinya jika perlindungan itu berubah menjadi proteksi yang berlebihan? Dan apa jadinya perempuan terbiasa dilindungi seumur hidupnya, akan jadi apa bila perempuan itu tak lagi dilindungi? Akankah jadi lemah dan terseok-seok dalam menjalani kehidupan? 
      Belum tentu.
      Yang jelas, setiap orang berhak melindungi diri sendiri. Tanpa perlu menunggu orang lain untuk melindungi. We have to be strong, influence and independent. Tidak perlu memohon perlindungan laki-laki, tidak perlu merasa rapuh dan akhirnya akan membuat ketergantungan pada laki-laki. Berdiri di atas kaki sendiri jauh lebih baik.
      Kembali ke masalah tipikal. Aku secara pribadi tidak ingin menjadi tipikal perempuan pada umumnya. Aku tidak ingin perempuan menjadi tipikal. Jadilah diri sendiri, tak usah terlalu peduli dengan konstruksi sosial yang cenderung mengikat perempuan. Tak perlu menjadi lembut untuk diakui sebagai perempuan. Tak perlu berdandan feminin bila jiwamu tak menginginkan. Tak perlu. Kau adalah perempuan independen, terima dirimu apa adanya. Dengan membaca tulisan di atas, anda tahu kan dimana kaki saya berpijak? :)

0 komentar:

Posting Komentar

Think twice before you start typing! ;)

 

Goresan Pena Nena Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template