Rabu, 11 Maret 2015

Kucing

Jalanan lengang siang itu. Di bawah rimbun dan kekarnya pohon mangga, ternaungi beberapa ekor kucing. Dua betina, dua jantan, dan satu anakan betina. Menguap malas, menggelungkan tubuh kala semilir angin membelai bulu-bulu mereka.


            Salah satu bersuara. “Aku benci manusia.” Dijilatnya bulu pendek yang berwarna putih keabu-abuan. Bukan karena coraknya, tetapi karena terlalu sering bergumul dengan debu jalanan. Dekil. Carut-marut dan noda darah kering ada dimana-mana.

            Indukan kuning menyahut, “Ah, pasti karena mereka sering memukulimu dengan sapu atau menyirammu dengan seember air dingin.”
            Pejantan itu mengangguk, “Mereka mengira aku bertengkar denganmu waktu itu.” Ucapnya sembari melirik kucing jantan lain yang berwarna hitam kelam. Ia mengeong untuk jawaban “ya”.
            “Manusia-manusia tolol itu mengira kita tengah bertengkar.” Tukasnya, terkekeh geli. Pupil mata hijaunya menyipit, menyisakan segaris kecil warna hitam seperti mata pisau. “Mana mereka tahu kalau kita tengah latihan drama?”
            “Ah, aku juga pernah.” Indukan betina dengan bulu abu-abu berkata. “Seorang wanita yang tengah menggendong makhluk kecil berliur menyebalkan memisahkanku ketika tengah bercinta dengan pejantan dari kampung sebelah.”
            “Mereka menyebut makhluk yang kau sebut berliur dan menyebalkan dengan nama bayi.” Ujar indukan kuning menginterupsi.
            “Terserah.” Sahutnya tak peduli. Ia melanjutkan, “Seperti ia tak pernah merasakan bagaimana nikmatnya bercinta saja, main memisah-misahkan. Dasar sirik.” Gerutunya kesal.
            “Padahal, mereka juga sering melakukannya.” Ucap pejantan dekil dengan cepat. “Bahkan, dengan orang-orang yang berbeda-beda tiap harinya. Itu menjijikan.”
            Betina abu-abu tertawa, mata biru cerahnya berkilau. “Bukankah kita juga seperti itu? Baru bertemu langsung bercinta dan mendesah?”
            “Kau ini bicara apa?” Tukas indukan kuning geram, tangan bercakarnya menutupi telinga anaknya yang tengah menyusu. “Ada anak kecil disini.”
            Betina abu-abu tertawa, cekikikan seperti remaja. “Cepat atau lambat ia akan tahu itu. Tak ada rahasia di dunia kita.”
            “Seperti yang sering aku katakan.” Pejantan hitam menyahut bersemangat. “Mereka memakai pakaian tapi nista.”
            Pejantan putih kumal tertawa terbahak-bahak hingga matanya berair. “Seharusnya.. seharusnya mereka mencontoh kita.” Kata-katanya tersendat oleh tawanya. “Mereka punya kebutuhan hewani yang sama dengan kita, tetapi mengapa harus ada yang disembunyikan? Kita tidak mengenal pakaian atau pendidikan yang sering mereka agung-agungkan, tetapi setidaknya, kita lebih terbuka, tanpa rahasia.”
            “Begitulah manusia.” Gerutu betina abu-abu dengan cakar yang dikeluarkan. “Mentang-mentang berada di puncak rantai makanan dan evolusi, lalu berbuat seenaknya. Membuat aturan di dunia dengan cara mereka yang konyol.”
            “Seharusnya kita sekarang berada di pelosok hutan, berjalan angkuh sebagai penguasa disana.” Ujar pejantan hitam, memeragakan cara jalan seorang yang memiliki kekuasaan. “Tapi kenapa nenek moyang kita justru bertransformasi menjadi predator kecil pemakan tikus seperti kita? Ini tidak adil.”
            “Kekuasaan juga ada batasannya.” Pejantan dekil terkekeh, berbaring di atas rerumputan dan memandang langit. “Mitosnya, maksimal tujuh turunan. Setelah itu? Kita kembali lemah, tak berdaya dan menyedihkan. Di tindas oleh manusia dimanapun mereka berada.”
            “Lagian, tahu apa kita soal berburu?” Betina abu-abu menggoda, bulu matanya yang lentik dikedipkan genit. “Biasanya kita juga mengais-ngais makanan di sampah. Dan hanya duri yang kita temukan, eww...”
            “Mereka kira kita pemakan duri seperti yang digambarkan dalam gambar bergerak di benda kotak besar itu?” Ia menggeleng tegas. “Itu sama saja dengan membunuh karakter kita. Bahkan, kalau tidak dicegah dan diberitahu, anak cucu mereka akan memberi makan kita duri dan sisa seperti yang dilakukan pendahulunya.”
            “Belum lagi beberapa kawan kita yang cacat permanen dan tewas gara-gara disiksa. Padahal mereka terpaksa harus mencuri makanan untuk mengganjal perut mereka.” Indukan kuning menunduk haru. “Padahal, jika kita mampu, kita juga ingin mendapatkan makanan hasil jerih payah kita sendiri seperti manusia.”
            “Dan tak lagi dikejar-kejar oleh sapu lidi, atau dilempari kerikil seperti biasa.”
            “Apa kita mau seperti ini terus?” Betina abu-abu memicingkan mata penuh amarah. “Terinjak, diabaikan, dan makan makanan sisa?”
            “Habislah populasi kita nanti.” Pejantan berbulu kusam itu mendadak bangkit. “Kita harus membuat koloni yang besar untuk menghancurkan kekuasaan manusia!”
            “Kita bukan semut, kawan.”
            “Hanya butuh menggalang persatuan untuk itu. Seekor krill saja pernah bermimpi untuk menduduki puncak rantai makanan, menjadi penguasa setelah lama diinjak-injak dan dijadikan santapan siang bagi paus yang tamak. Kenapa kita tidak?”
            “Tapi, beberapa kawan kita sudah berkomplot dengan manusia.” Pejantan hitam berucap, mengingatkan. “Mereka tinggal di gua yang besar, penuh dengan benda berkilau, tidur di atas bantalan bulu angsa, makan makanan enak dan melupakan kita.”
            “Mungkin itu karena derajat kita dengan oknum kucing itu berbeda.” Betina abu-abu mengingatkan. “Mereka memiliki bulu panjang dan halus, bersih dan kelakuan yang sangat sopan, yang membuatku merasa sedikit kampungan dan norak ketika bertemu dengannya.”
            “Oknum kucing itu tidak melupakan kita.” Indukan kuning berkata. “Sering, aku diberi makanan yang katanya diambil dari lautan yang jauh. Jauh lebih enak dari ikan lokal yang kita makan setiap hari di tong sampah.”
            “Meski terlihat berkomplot dengan manusia, nyatanya mereka cerdas.” Pejantan berbulu kusam itu menganalisa. “Mereka hanya memanfaatkan manusia. Bermodalkan tatapan dan kelakuan manja, mereka bisa mendapatkan apapun yang mereka mau.”
            “Yap. Dan itu termasuk asuransi kesehatan. Temanku yang tinggal di gua berwarna ungu itu berkata setiap hari ia memakan bulatan kecil pahit untuk menjaga kesehatannya.”
            “Dan segera dirawat bila sakit sedikit.” Sahut pejantan hitam, memutar bola matanya.
            “Tuhan memang tidak adil.” Ucap pejantan berbulu putih kasar dengan lantang. “Mereka menciptakan kita dengan fisik yang terlalu sederhana dengan kemampuan berburu yang payah.”
            “Ssh, kau jangan berkata begitu.” Indukan kuning mengingatkan lembut.
            “Lalu, salah siapa, kalau bukan Tuhan?” Tantangnya marah sembari mengasah cakarnya di batang pohon mangga.
            “Mungkin Dia menciptakan kita seperti ini ada tujuannya.” Betina abu-abu bersuara. “Coba bayangkan bila kita terlahir sebagai singa, harus susah payah mengejar kijang yang berlari dua kali lebih cepat dari kita. Hidup penuh kekhawatiran, takut diburu manusia dan ditempatkan di sangkar kecil yang mereka namakan kebun binatang. Kebebasan kita direnggut paksa. Mengerikan.”
            “Ya, kita lebih beruntung.” Ia mengangguk-angguk. “Setidaknya, selalu ada makanan sisa didalam tong sampah.”
            “Seharusnya kita lebih banyak bersyukur dan menerima apa yang telah Tuhan beri.” Mereka berempat memandangi langit biru cerah tanpa noda awan setitikpun, sementara anak indukan kuning tertidur pulas di pelukan ibunya. Hari akan berlalu tanpa hujan yang membuat mereka kedinginan.
            “Hei, aku punya ide.” Pejantan putih dekil itu bersuara memecah keheningan. “Kenapa kita tidak belajar cara berkomplot dengan manusia dari teman-teman kita yang sekarang hidup enak?”
            “Benar juga.” Betina abu-abu mengangguk-angguk. “Lagian, apa susahnya belajar menjadi jinak dan manja demi makanan enak? Syukur-syukur jika kita bisa tinggal dengan manusia di gua mereka yang hangat.”
            “Katanya kau benci manusia?” Ledek pejantan hitam tertawa-tawa. “Sekarang malah merencanakan untuk bergabung dengan mereka. Mana idealisme-mu?”
            “Persetan dengan idealisme, yang penting kita kenyang!” Ujar pejantan putih dekil berjalan meninggalkan mereka, menuju gua bercat ungu yang ia maksud. Menemui temannya.
            “Hidup enak dan nyaman!”
            “Anak-cucu kita tak akan kelaparan atau punah!”
            “Tak perlu tidur di jalanan lagi!”
            “Dan, jika mereka lengah, kita akan rebut posisinya sebagai puncak rantai makanan dan evolusi!”
            “Kau memang cerdas, kawan!” Betina abu-abu terkekeh, berjalan sembari melenggak-lenggokan tubuh sekalnya. “Dunia akan dikuasai oleh kucing, segera!”

Surabaya, 10 Februari 2015
18:46

0 komentar:

Posting Komentar

Think twice before you start typing! ;)

 

Goresan Pena Nena Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template